Selasa, 24 Maret 2009

UUPL

Pencemar Lingkungan Harus Merehabilitasi Kawasan

Senin, 11 Agustus 2008 | 08:45 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pelaku pencemaran lingkungan perlu diberi sanksi perbaikan atau rehabilitasi kawasan yang sudah dirusaknya. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Berry Nahdian Forqan mengatakan, hukuman kurungan dan denda tidak cukup. "Undang-undang harus mampu memaksa perusahaan merahabilitasi kawasan," ujarnya, Senin (11/8).

Menurut dia, sanksi menuntut perusahaan untuk memperbaiki lingkungan dicemari bisa menjadi upaya pencegahan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kata Berry, terlalu ringan memberikan sanksi kepada perusak dan pencemar lingkungan.

Undang-undang itu menurut rencana akan dibahas kembali untuk amendemen di Dewan Perwakilan Rakyat akhir Agustus 2008. Rencana amendemen masuk dalam program legislasi nasional 2004 namun gagal dibahas.

Berry mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup perlu diberikan kewenangan yang lebih tegas. Seperti, rekomendasi mencabut izin, sanksi dan mencabut izin perusahaan pencemar lingkungan. Selama ini, peran kementerian hanya memantau dan memberikan evaluasi.


********************


UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Senin, 27 Desember 2004 | 20:08 WIB

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 1997
TENTANG
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;
b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;
c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup;
e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
f. bahwa sesungguhnya dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain;
2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup;
3. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan;
4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup;
5. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
7. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya;
9. Pelestarian daya tampung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
10. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumber daya buatan;
11. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;
12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya;
13. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang;
14. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan;
15. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya;
16. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
19. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
20. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan;
21. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;
22. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup;
23. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
24. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
25. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Wawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN
Pasal 3
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 4
Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah:
a. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;
b. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
c. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
d. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 5
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
1. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
2. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 7
1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2. Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
b. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
c. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
d. Memberikan saran pendapat;
e. Menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8
1. Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah.
2. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
a. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
b. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;
c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika;
d. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Ketentuan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
1. Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
2. Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
3. Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam nonhayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
4. Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikoordinasi oleh Menteri.
Pasal 10
Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban:
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
b. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup;
c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
d. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
f. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup;
g. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup;
h. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
i. Memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup.
Pasal 11
1. Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
2. Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 12
1. Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat:
a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah;
b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 14
1. Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
2. Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
1. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
2. Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
3. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
2. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
3. Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PERSYARATAN PENATAAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 18
1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
2. Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan persyarakat dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
Pasal 19
1. Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diperhatikan:
a. Rencana tata ruang;
b. Pendapat masyarakat;
c. Pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.
2. Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan.
Pasal 20
1. Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
2. Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
3. Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud ayat (1) berada pada Menteri.
4. Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
5. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan beracun.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 22
1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
3. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkakn kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan
Pasal 23
Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus untuk itu oleh Pemerintah.
Pasal 24
1. Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Bagian Ketiga
Sanksi Administrasi
Pasal 25
1. Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
2. Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/ Walikotamadya/ Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
3. Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
4. Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
5. Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.
Pasal 26
1. Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27
1. Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sangsi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
2. Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
3. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya.
Bagian Keempat
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 28
Dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup.
Pasal 29
1. Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup apabila yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk melakukan audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
4. Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
5. Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama
Umum
Pasal 30
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
3. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 31
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Pasal 32
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Pasal 33
1. Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
2. Ketentuan mengenai penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan
Paragraf 1
Ganti Rugi
Pasal 34
1. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
2. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 35
1. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a. Adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
d. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Paragraf 3
Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 36
1. Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
2. Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Paragraf 4
Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup Untuk Mengajukan Gugatan
Pasal 37
1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
2. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2. Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
3. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Pasal 39
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 40
1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
5. Penyidik tindak pidana lingkungan hidup di perairan lndonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41
1. Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 42
1. Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 43
1. Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2. Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
3. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp. 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 44
1. Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 45
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiganya.

Pasal 46
1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasa hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Pasal 47
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau
b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
c. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f. Menempatkan perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 (tiga) tahun
Pasal 48
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
1. Selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-undang ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Undang-undang ini.
2. Sejak diundangkannya Undang-undang ini dilarang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang diimpor.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pada saat berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 51
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan LingkunganHidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 52
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 September 1997
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


*******************



Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23/1997 yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Definisi yang panjang ini dapat di sederhanakan dengan melihat adanya tiga unsur dalam masalah pencemaran yaitu sumber perubahan akibat kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan dalam lingkungan dan merosotnya fungsi lingkungan untuk menunjang kehidupan.

Merosotnya kualitas lingkungan juga tidak akan menjadi perhatian besar jika tidak terkait dengan kebutuhan hidup manusia sendiri sehingga bahasan tentang pencemaran dan konsep penanggulangannya lebih mengarah kepada upaya mengenai bentuk kegiatan manusia yang menjadi sumber pencemaran.

Pencemaran sering pula diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk pola pengelompokannya. Pengelompokan menurut jenis bahan pencemar menghasilkan pencemaran biologis, kimiawi, fisik dan budaya. Pengelompokan menurut medium lingkungannya dapat menghasilkan pencemaran udara, air, tanah, makanan dan sosial sedangkan pengelompokan menurut sifat sumber bisa menghasilkan pencemaran primer dan pencemaran sekunder.

Salah satu upaya dalam pengelolaan lingkungan adalah mengatur beban pencemaran dari sumbernya baik sumber pencemaran udara, air maupun limbah padat sehingga informasi tentang besarnya beban pencemaran dari setiap sumber amat berguna dalam upaya pengelolaan lingkungan tersebut.


***********************


Pencemaran air

Polusi air dapat disebabkan oleh beberapa jenis pencemar sebagai berikut.

a. Pembuangan limbah industri, sisa insektisida, dan pembuangan
sampah domestik, misalnya, sisa detergen mencemari air. Buangan
industri seperti Pb, Hg, Zn, dan CO, dapat terakumulasi dan bersifat
racun.

b. Sampah organik yang dibusukkan oleh bakteri menyebabkan 02 di air
berkurang sehingga mengganggu aktivitas kehidupan organisme air.

c. Fosfat hasil pembusukan bersama h03 dan pupuk pertanian
terakumulasi dan menyebabkan eutrofikasi, yaitu penimbunan mineral
yang menyebabkan pertumbuhan yang cepat pada alga (Blooming
alga). Akibatnya, tanaman di dalam air tidak dapat berfotosintesis
karena sinar matahari terhalang.

Salah satu bahan pencemar di laut ada lah tumpahan minyak bumi, akibat kecelakaan kapal tanker minyak yang sering terjadi. Banyak organisme akuatik yang mati atau keracunan karenanya. (Untuk membersihkan kawasan tercemar diperlukan koordinasi dari berbagai pihak dan dibutuhkan biaya yang mahal. Bila terlambat penanggulangan-nya, kerugian manusia semakin banyak. Secara ekologis, dapat mengganggu ekosistem laut.

Bila terjadi pencemaran di air, maka terjadi akumulasi zat pencemar pada tubuh organisme air. Akumulasi pencemar ini semakin meningkat pada organisme pemangsa yang lebih besar.



*********************


Cegah pencemaran lingkungan dengan hukum administrasi PDF Print E-mail

By Administrator, on 27-09-2007 00:00

Views : 16884

Favoured : None

Kasus kerusakan lingkungan kian hari kian memprihatinkan. Bahkan ketika otonomi daerah diberlakukan, kondisi lingkungan hidup di Indonesia justru semakin mengkhawatirkan. Melihat kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup mengajak seluruh jajaran Pemerintah Daerah untuk berperan aktif dalam upaya mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan tegas menegakkan hukum administrasi.
Demikian disampaikan oleh Asisten Deputi Kementerian Lingkungan Hidup, Inar Ichsana Ishak, dalam sebuah acara dengan jajaran Pemda di Palangkaraya, pada Selasa (24/7).

Namun demikian ia mengingatkan bahwa penegakan hukum administrasi tidak seperti pidana. Menurutnya, hukum administrasi ini dapat direkayasa. Untuk itu sebelum terjadi pencemaran harus direncanakan dulu apa saja yang harus dikerjakan atau diawasi.

"Kita sudah harus merencanakan apa saja yang harus diawasi sebelum terjadi pencemaran. Dengan demikian, jika terjadi kasus pencemaran, pelakunya dapat langsung ditindak," ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa penegakkan hukum administrasi menjadi lebih penting daripada penegakan hukum pidana dalam kasus pencemaran lingkungan. Ada perbedaan mendasar antara hukum administrasi dan pidana.

Kalau hukum administrasi dapat diterapkan sebelum ada kejadian, atau ketika sudah ada indikasi terjadinya pencemaran. Berbeda dengan hukum pidana yang hanya boleh diterapkan setelah ada kejadian.

Di samping itu, dalam penegakan hukum administrasi juga masih bisa dilakukan tawar-menawar, serta langkah penyelesaiannya juga bermacam-macam, yang tidak ditemukan dalam hukum pidana.

Artinya, jika pelaku tindak pencemaran lingkungan mendapat sanksi administrasi, misalnya denda atau pembekuan sementara dari suatu usaha, yang bersangkutan masih dapat melakukan perbaikan terhadap lingkungan yang rusak akibat perbuatannya.

"Nah, ketika hukum administrasi ternyata tidak berjalan dengan baik dan efektif, maka dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai jalan terakhir," tegasnya.

Ia memberi satu contoh. Apabila seseorang yang dipidana penjara selama 10 tahun karena melakukan pencemaran lingkungan, maka dari sisi lingkungan hidup tidak menjadi hal penting. Hal itu karena kerusakan lingkungan telah terjadi dan tidak mungkin berubah dengan putusan pidana yang diberikan.

Oleh karena itu, pejabat pemerintah di daerah sudah harus mulai bergerak untuk menyusun perencanaan dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Misalnya, saat kemarau ini biasanya akan terjadi kebakaran hutan. Jadi perencanaan itu harus sudah dimulai yakni apa saja yang bisa dilakukan pemerintah, stakeholder terkait, masyarakat, dan perusahaan.

"Dengan demikian kasus kebakaran hutan dan lahan itu tidak akan terjadi. Apabila masih ada perusahaan atau masyarakat yang melakukan pembakaran, maka tindakan sanksi pidana dapat diterapkan," katanya.

Menurut Ishak, para pejabat pemerintah harus dapat mengawasi dan memantau agar tidak terjadi kebakaran di perkebunan. Caranya adalah memeriksa perusahaan perkebunan dengan menyiapkan para pejabat pengawas.

Lebih lanjut Ishak menjelaskan bahwa upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketat dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

"Pemerintah saat ini juga masih menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berpotensi menjerat pejabat publik yang melakukan kesalahan dan dianggap bertanggung jawab dalam kerusakan lingkungan hidup," tambahnya.

Pejabat publik yang dimaksud adalah pejabat daerah dan pusat yang melakukan kesalahan antara lain dalam hal penerbitan surat izin operasional, pembuatan persyaratan perizinan, dan ketidakpatuhan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Dalam RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru ini menurutnya, akan memasukkan pasal yang mengatur pelanggaran oleh pejabat publik. Ini merupakan langkah maju karena UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang ada sekarang ini belum mengatur hal tersebut.

Sementara itu, UU Lingkungan Hidup yang berlaku saat ini belum mengatur pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik. Yang ada hanya memungkinkan untuk menindak pimpinan perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan. (Setyo Rahardjo).


**************************



Menneg LH Siap Gugat 70 Pabrik Pencemar Lingkungan PDF Print
19-05-2008
Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH) Rachmat Witoelar mengaku siap menggugat 70 pabrik yang diduga melakukan pencemaran lingkungan.
"Data yang kita punya sebanyak 70 pabrik yang akan kita gugat," kata Rachmat Witoelar usai memberikan kuliah Umum, di FISIP-UI, Depok, Jumat.

Menurut dia, saat ini pihaknya memosisikan diri sebagai pengacara negara untuk kepentingan lingkungan.

Hingga saat ini belasan pabrik telah ditutup karena mencemari lingkungan dan banyak diantara pemiliknya yang masuk penjara.

Pencemaran lingkungan oleh pabrik memberi kontribusi sekitar 30 persen dari total kerusakan lingkungan. Pabrik-pabrik tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama ketiadaan Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal).

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan.

Untuk mempertegas pelaksanaan sanksi, telah ada UU Persampahan yang baru disahkan. "Dengan adanya UU Persampahan maka saya punya senjata jika ada yang mengadu soal sampah. Sanksinya bisa pidana, penjara dan denda mencapai miliaran," katanya.

Masalah sampah kata dia, merupakan sumber malapetaka berupa banjir, yang menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat.

Rachmat Witoelar mengatakan, permasalahan nasional tentang lingkungan adalah pencemaran air, pencemaran udara di kota-kota besar, limbah domestik dan sampah, kontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3), kerusakan ekosistem hutan dan hujan tropika, kerusakan daerah aliran sungai.

Masalah lainnya dalah kerusakan ekosistem danau, ekosistem pesisir dan laut, kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan, pemanasan bumi, penipisan lapisan ozon, serta bencana banjir dan longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan.

P>S


Cukup Sudah Cerita Pencemaran Sungai!

Siaran Pers Bersama: 10 Juni 2004

Pencemaran yang terjadi di Sungai Siak dan dibeberapa sungai lainnya di Riau sepertinya akan terus terjadi tanpa ada upaya kongkrit apapun ke arah perbaikan apalagi penegakan hukum bagi pelanggaran yang terjadi. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Riau dan Kementrian Lingkungan Hidup melalui SUPER pun dinilai belum mampu menjawab permasalahan yang terjadi, khususnya pada aspek penegakan hukum. Pemerintah Daerah melalui Bappedal Propinsi hanya menerbitkan surat peringatan bagi 7 perusahaan yang dinilai melanggar ambang batas pencemaran tanpa diikuti tindakan yang dapat membuat perusahaan jera melalui serangkaian tindakan hukum.

Pencemaran sungai di Riau, bila dirunut terjadi sejak bomming industri yang menempati sepanjang DAS seperti DAS Siak dan DAS Kampar. Sejak itulah, eskalasi pencemaran terus meningkat hingga puncaknya pada 8 Juni 2004 yang lalu dimana lebih dari 1,5 ton ikan mati mengapung. Inilah catatan pencemaran terburuk yang pernah terjadi di sungai di Riau dalam lima tahun terakhir.

Peningkatan skala pencemaran ini pada dasarnya tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum sebagai buah dari minusnya komitment aparatur negara dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan yang terkait dengan masalah. Minusnya perhatian masyarakat juga menjadi faktor yang merugikan. Walaupun pada dasarnya, semua ini terjadi akibat tidak transparannya proses penyusunan dan implementasi kebijakan yang berkaitan dengan pencemaran ini. Dengan kondisi sedemikian rupa, perusahaan tidak lagi takut dalam melakukan pencemaran. Tentunya yang akan menerima dampak dari semua itu adalah masyarakat dimana industri tersebut berada.

Merujuk pada MoU tanggal 11 April 2003 antara Pemerintah Daerah dengan 20 Perusahaan yang tertuang dalam SUPER 2003 (Surat Pernyataan Kinerja Lingkungan 2003) justru terlihat bahwa kasus pencemaran bukannya menurun bahkan cenderung meningkat. Malahan, walaupun 7 (tujuh) diantaranya secara sah dan meyakinkan telah mengangkangi kesepakatan dalam point-point SUPER 2003, sebagaimana rekomendasi Bappedal Propinsi, hingga hari ini belum satupun tindakan yang diambil Pemkot Pekanbaru, Pemkab Siak dan Pemkab Pelalawan menunjukkan kearah positif, dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Malah jusru Pemkot Pekanbaru terkesan menantang keputusan Bapedal Propinsi dengan melakukan penelitian tersendiri dengan hasil yang, tentunya, menguntungkan perusahaan-perusahaan tersebut. Bahkan ketika pencemaran sudah terjadi didepan mata.

Terkait dengan rencana SUPER 2004 terhadap 15 perusahaan, hal ini seharusnya menjadi tanda tanya besar bagi pecinta lingkungan. Sejauh mana urgensi SUPER 2004 bila SUPER 2003 tidak dapat memberikan sanksi/hukuman terhadap perusahaan yang gagal melaksanakan point-point dalam kesepakatan Super 2003. Justru kesannya perusahaan yang tidak lulus SUPER 2003 masih diberi kesempatan pada SUPER 2004.

Selain itu, terdapat kelemahan dari Super 2003 dimana proses penyusunannya yang tidak transparan dan tidak pernah kesepakatan-kesepakatan yang tertuang didalamnya dipublikasikan ke publik. Ini menjadi penting mengingat keterlibatan masyarakat justru bisa dimaksimalkan apabila kesepakatan tersebut mendapat masukan dan diketahui oleh publik sehingga urusan lingkungan tidak saja menjadi urusan pemerintah dan perusahaan tetapi juga menjadi urusan publik sebagai pihak yang banyak menggunakan jasa lingkungan.

Dengan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sejumlah Organisasi Lingkungan menilai bahwa masalah pencemaran ini tidak akan pernah menemui titik tuntas. Banyaknya perusahaan yang tidak konsisten dalam menjalankan UU 23 Thn 1997 dan berbagai kesepakatan yang tertuang dalam SUPER 2003 dituding menjadi penyebab kesemuanya. Ketidak tegasan dan ketakutan Pemerintah Daerah dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang telah terbukti melanggar juga merupakan masalah tersendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah organisasi akan meningkatkan konsentrasinya terhadap masalah-masalah pencemaran yang terjadi di Pekanbaru dan sekitarnya khusunya dan di Propinsi Riau umumnya. Sejumlah aktivitas telah disusun, dengan membuat posko pengaduan masyarakat korban pencemaran termasuk kemungkinan melakukan somasi hukum terhadap pihak-pihak terkait dengan masalah pencemaran ini.

Pekanbaru, 10 Juni 2004


****************


Perspektif Budaya Pencemaran Sungai

PENCEMARAN sungai akibat limbah tetes tebu yang pernah menggegerkan Surabaya dan sekitarnya ternyata “tidak terlalu dipermasalahkan” masyarakat. Buktinya, tidak ada gugatan class action atas inisiatif warga sendiri, bahkan surat-surat pembaca di media tak ditemukan protes keras untuk menuntut penyelesaiannya. Mengapa persoalan yang sedemikian serius itu justru dianggap sepi? Barangkali, inilah salah satu bentuk sikap budaya masyarakat yang sudah terbiasa dirugikan kepentingannya, sehingga ketika mereka tenggelam sebatas leher pun tetap tak protes karena air memang belum masuk ke lubang hidung.

Sikap budaya suatu masyarakat akan terbentuk manakala suatu hal terjadi secara terus-menerus, menjadi kebiasaan, dan tidak menimbulkan gejolak berarti untuk menjadi perubahan. Demikian pula soal pencemaran sungai, terjadi berulang-ulang, tak pernah ada penyelesaian, sehingga masyarakat menjadi abai untuk memikirkannya. Apalagi, kasus-kasus lingkungan pada umumnya memang baru terasa urgen justru ketika akibatnya sudah menjadi terlambat untuk mengatasinya. Sering kali orang tidak menganggap penting persoalan selama akibat yang dirasakannya bukan terjadi saat itu juga.

Lebih parah lagi, ketika sudah diketahui akibatnya pun, masih saja terus berlangsung perusakan lingkungan, karena pihak yang merusak bukan pihak yang merasakan akibatnya. Atau, perusakan tetap berlangsung, karena akibatnya ditanggung secara bersama-sama oleh semua orang, bukan hanya pihak yang merusak saja.

Secara langsung, yang dirugikan akibat pencemaran Sungai Brantas tersebut adalah para konsumen PDAM. Yang kurang diperhitungkan adalah, siapa saja yang mengonsumsi ikan-ikan yang diracuni akibat pencemaran tersebut? Bukan hanya ikan sungai yang mabuk itu, tetapi ikan-ikan (dan fauna lain) di tambak dan laut yang pasti juga teracuni. Itulah salah satu bentuk sikap budaya juga, bahwa selama ini orang cenderung mengatasi persoalan pencemaran dengan cara memindahkan masalah dan bukan menyelesaikannya.

***

SIKAP budaya yang berikutnya, masyarakat selama ini masih belum menghargai apa yang disebut sebagai milik umum. Logikanya, kalau sesuatu disebut “milik umum” berarti menjadi milik semua orang. Jadi, setiap orang wajib menjaganya, karena sesuatu itu adalah miliknya juga. Tetapi yang terjadi, karena dianggap milik umum lantas dipahami menjadi “bukan milik siapa-siapa”. Yang artinya, siapa saja boleh memperlakukan dengan seenaknya tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Contohnya sungai, jalan raya, air, udara, dan lain-lain.

Secara sempit, pencemaran sungai Brantas (hanya menyebut contoh) terjadi karena pembuangan limbah pabrik yang belum dinetralisasi. Namun kalau mau dihitung, berapakah andil masyarakat sendiri dalam hal pencemaran sungai tersebut? Pencemaran domestik seperti limbah rumah tangga, bukan berarti lebih kecil artinya dibanding pencemaran industri.

Pertanyaannya kemudian, apakah karena kita merasa semua orang ikut memiliki andil terhadap pencemaran sungai, maka kita menjadi apatis ketika kasus pencemaran yang dilakukan oleh Pabrik Gula Ngadirejo belum lama ini? Atau, sikap apatis tersebut menjadi lantaran selama ini kasus-kasus pencemaran lingkungan nyaris tidak pernah ada penyelesaian tuntas.

Bagaimanapun, persoalan lingkungan memang harus diteropong secara holistik, bukan secara sepotong-sepotong, hanya berorientasi sesaat atau jangka pendek. Karena budaya, pasti menyangkut manusia, yang menjadi aktor utama dalam semua persoalan di muka bumi ini. Apa boleh buat. (*)


******************


Pencemaran Air Selasa, 24 Maret 2009

Sumber Pencemaran Air

Banyak penyebab pencemaran air tetapi secara umum dapat dikategorikan sebagai sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA (tempat Pembuangan Akhir Sampah), dan sebagainya. Sumber tidak langsung yaitu kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah, atau atmosfer berupa hujan. Tanah dan air tanah mengandung mengandung sisa dari aktivitas pertanian seperti pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfer juga berasal dari aktivitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam.

Pencemar

Pencemar air dapat diklasifikasikan sebagai organik, anorganik, radioaktif, dan asam/basa. Saat ini hampir 10 juta zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000 zat kimia telah digunakan secara komersial. Kebanyakan sisa zat kimia tersebut dibuang ke badan air atau air tanah. Pestisida, deterjen, PCBs, dan PCPs (polychlorinated phenols), adalah salah satu contohnya. Pestisida dgunakan di pertanian, kehutanan dan rumah tangga. PCB, walaupun telah jarang digunakan di alat-alat baru, masih terdapat di alat-alat elektronik lama sebagai insulator, PCP dapat ditemukan sebagai pengawet kayu, dan deterjen digunakan secara luas sebagai zat pembersih di rumah tangga.

�@



Dampak Pencemaran Air

Pencemaran air berdampak luas, misalnya dapat meracuni sumber air minum, meracuni makanan hewan, ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam, dan sebagainya.

Di badan air, sungai dan danau, nitrogen dan fosfat (dari kegiatan pertanian) telah menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang di luar kendali (eutrofikasi berlebihan). Ledakan pertumbuhan ini menyebabkan oksigen, yang seharusnya digunakan bersama oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang. Ketika tanaman air tersebut mati, dekomposisi mereka menyedot lebih banyak oksigen. Sebagai akibatnya, ikan akan mati, dan aktivitas bakteri menurun.















Langkah Penyelesaian

Dalam keseharian kita, kita dapat mengurangi pencemaran air, dengan cara mengurangi jumlah sampah yang kita produksi setiap hari (minimize), mendaur ulang (recycle), mendaur pakai (reuse).

Kita pun perlu memperhatikan bahan kimia yang kita buang dari rumah kita. Karena saat ini kita telah menjadi "masyarakat kimia", yang menggunakan ratusan jenis zat kimia dalam keseharian kita, seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, memupuk tanaman, dan sebagainya.

Menjadi konsumen yang bertanggung jawab merupakan tindakan yang bijaksana. Sebagai contoh, kritis terhadap barang yang dikonsumsi, apakah nantinya akan menjadi sumber pencemar yang persisten, eksplosif, korosif dan beracun, atau degradable (dapat didegradasi) alam ? Apakah barang yang kita konsumsi nantinya dapat meracuni manusia, hewan, dan tumbuhan, aman bagi mahluk hidup dan lingkungan ?

Teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar. Walaupun demikian, langkah pencegahan tentunya lebih efektif dan bijaksana.


*****************


LAPORAN AKHIR TAHUN

Kasus Pencemaran Sungai Citarum Butuh Perhatian



Oleh
Widjil Purnomo

Karawang - Sungai Citarum yang mengalir melintas Kabupaten Karawang, Jawa Barat kini mengalami beban berat akibat pencemaran limbah. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah setempat tampaknya tak membuahkan hasil yang memadai. Bahkan, kini limbah menjadi ancaman baru bagi kehidupan warga yang berdiam diri di sepanjang daerah alirannya.
Secara kasatmata saja warga bisa melihat bahwa air Sungai Citarum tidak sejernih dulu. Selama beberapa bulan terakhir ini, air sungai yang semula jernih menjadi berwarna hitam dengan mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Pada musim kemarau lalu dengan air yang tidak mengalir deras, Sungai Citarum mirip sebuah danau raksasa yang menampung air comberan. Di bibir sungai menempel sisa-sisa limbah yang menimbulkan pemandangan yang tidak sedap.
Masyarakat yang berdiam di daerah aliran sungai (DAS) Citarum kini tidak bisa lagi memanfaatkan air sungai itu untuk keperluan mandi, mencuci termasuk mencari ikan dan binatang air lainnya. Mereka menjadi gelisah karena secara tiba-tiba kondisi itu mengubah pola kehidupan sosial maupun ekonominya. Bagi warga yang mampu, mereka bisa menggali sumur, membangun kamar mandi atau WC, tapi yang kehidupannya pas-pasan akan mengalami kesulitan luar biasa.
Belum lagi para petani yang mengandalkan air Sungai Citarum untuk pengairan kebun atau sawah mereka. Di beberapa tempat, para petani enggan menggunakan air sungai itu untuk pengairan kebunnya karena bisa merusak tanaman mereka. Namun, beberapa petani kangkung mengaku masih menggunakan air sungai itu karena tanaman kangkung dianggap tahan terhadap segala jenis limbah.
Sungai Citarum memiliki sejarah panjang terkait dengan peradaban manusia sepanjang tepian daerah alirannya. Banyaknya peninggalan budaya pada situs-situs prasejarah, situs-situs masa Klasik dan situs-situs masa Islam yang terdapat pada tepian daerah alirannya merupakan bukti bahwa Citarum merupakan sungai penting bagi kehidupan manusia.
Hingga tahun 2000 lalu, Sungai Citarum masih bermanfaat bagi warga yang tinggal di tepian daerah alirannya. Airnya jernih dengan kehidupan dalam airnya yang beraneka ragam sehingga warga bisa mencari ikan dan belut untuk menambah penghasilannya. Di sisi lain, warga juga bisa menikmati suasana yang sejuk dan damai di pinggiran Sungai Citarum.

Limbah Pabrik
Pencemaran yang terjadi di Sungai Citarum hingga kini tidak diketahui asal-usulnya karena pihak yang berwenang belum pernah menyeret oknum-oknum tertentu yang diduga membuang limbahnya di sungai itu. Namun, masyarakat yang gelisah langsung menuding pencemaran itu akibat pembuangan limbah pabrik-pabrik yang berdiri di sepanjang DAS Citarum.
Dalam suatu kesempatan Bupati Karawang Dadang S Muchtar mengakui adanya beberapa perusahaan yang tidak mengolah limbahnya sebelum dibuang ke Sungai Citarum. Ia tidak menyebut nama perusahaan itu, namun ia seolah-olah memakluminya karena biaya pengolahan limbah yang sangat mahal. Ia mencontohkan perusahaan Pindo Delli Pulp and Paper Mild I dan II yang setiap bulan harus mengalokasikan anggaran sedikitnya Rp 25 miliar hanya untuk pengolahan limbah.
Enday Damanhuri, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Energi dan Mineral Kabupaten Karawang beberapa waktu lalu mengaku telah diperintahkan Bupati Dadang S Muchtar agar melaporkan kasus pencemaran itu ke polisi. Namun, niat itu hingga menjelang akhir tahun 2006 ini tak kunjung terbukti karena tak satu pun dari pihak perusahaan yang dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. Jika demikian halnya, masyarakat lantas bertanya, kenapa?
Rumor adanya main mata antara pejabat terkait dengan para pengusaha langsung merebak, apalagi jika dikaitkan dengan dana operasional pengolahan limbah yang begitu fantastis. Ada anggapan perusahaan memberikan sebagian dana operasional pengolahan limbah itu kepada pejabat agar dimaklumkan membuang limbah ke Sungai Citarum tanpa diolah terlebih dulu. Dengan upeti ke pejabat itu perusahaan yang bersangkutan bisa menghemat biaya.
Namun, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Energi dan Mineral Kabupaten Karawang Enday Damanhuri menanggapi rumor itu sebagai buah pikiran yang kotor. “Ya buktikan saja kalau saya bermain dengan perusahaan yang seperti itu. Begitupun kalau ada anak buah saya yang bermain seperti itu, tunjukkan kepada saya. Nanti kalau memang terbukti, mereka pasti akan saya beri sanksi berat,” tandasnya.

Pemda Tidak Tegas
Kasus pencemaran Sungai Citarum di Karawang menjadi perhatian besar karena sungai ini merupakan yang terbesar dan memiliki romantika tersendiri bagi masyarakat setempat. Seorang anggota Komisi A DPRD Karawang Budiwanto menganggap kerusakan Sungai Citarum di wilayah Karawang ini terjadi karena tidak tegasnya pemerintah daerah dalam menangani setiap kasus pencemaran. Ketidaktegasan ini dianggap pengusaha nakal sebagai permakluman sehingga mengundang perusahaan lain untuk berbuat serupa.
“Saya menganggap pencemaran yang berulang-ulang ini akibat ketidaktegasan eksekutif dalam menangani setiap kasus pencemaran yang terjadi. Kalau eksekutif bertindak tegas, saya kira kejadiannya tidak seperti ini,”ujarnya kepada SH.
Fenomena yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini menurut Budiwanto harus disikapi DPRD Kabupaten Karawang dengan upaya pembuatan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang lingkungan hidup. Hal ini, katanya, agar kasus pencemaran tidak hanya ditangani oleh eksekutif saja, tapi juga bersama dengan legislatif. “Insya Allah, dalam waktu dekat kami akan mengumpulkan teman-teman di legislatif untuk membicarakan pembentukan raperda lingkungan hidup,” tambahnya.
Budiwanto mungkin bermaksud baik. Tapi sebaik apa pun maksud itu kalau tidak dibarengi dengan kejujuran dan tindakan nyata, Perda Lingkungan Hidup yang akan dibuatnya itu hanya akan sia-sia. Toh, saat ini sudah ada Undang-undang Lingkungan Hidup yang ternyata juga dilanggar.n






Copyright © Sinar Harapan 2003


*************************


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0403/31/jab02.html

Pencemaran Sungai di DKI Sudah Membahayakan

Jakarta, Sinar Harapan
Kondisi sungai di Jakarta dan sekitarnya kini memprihatinkan. Tingkat pencemaran
sungai akibat limbah industri dan rumah tangga sudah pada tahap membahayakan. Di
Bekasi, kondisinya malah sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Demikian pantauan SH dan beberapa pendapat yang dihimpun mengenai kondisi sungai
di
Jakarta dan sekitarnya, Selasa (30/3) siang.
Menurut Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Pemerintah Kota Jakarta
Barat, Rafdjon Rax kepada SH, Selasa (30/3), selain limbah industri, polutan
yang
mencemari sungai di Jakarta Barat juga berasal dari rumah tangga. Polutan dari
rumah tangga itu terutama berupa deterjen, yang sangat mengurangi kadar oksigen
dalam air. Karena itu, sama seperti limbah industri, limbah dari rumah tangga
seharusnya juga diolah terlebih dulu dalam instalansi pengolahan limbah sebelum
dialirkan ke sungai.
"Kita sejauh ini memang masih sering kecolongan dengan limbah industri. Tetapi,
limbah rumah tangga juga sangat berperan dalam pencemaran sungai. Bayangkan,
orang
mencuci piring, mandi dan mencuci pakaian, semuanya menghasilkan limbah yang
mengandung deterjen. Sebagian besar dari limbah rumah tangga itu langsung
dialirkan
ke sungai, tanpa melalui instalasi pengolahan terlebih dahulu. Deterjen
mengurangi
kemampuan air untuk mengikat oksigen, sehingga air tidak bisa digunakan untuk
perikanan," ujarnya.
Dengan alasan yang sama pula, BPLH Kotamadya Jakarta Barat sebenarnya sudah
berulangkali melarang pemanfaatan air sungai untuk perikanan seperti yang banyak
ditemui di Kamal, tak jauh dari jalan tol Sedyatmo.
Kendala yang dihadapi untuk membangun fasilitas pengolahan limbah rumah tangga
tersebut, menurutnya adalah masalah dana. Hingga kini di Jakarta baru ada satu
fasilitas se-macam itu yaitu Waduk Setiabudi, Jakarta Pusat. Waduk itu
diperkirakan
hanya mampu menampung dan mengolah lima sampai tujuh persen dari total limbah
rumah
tangga warga Jakarta.
Dia mengatakan, sebagian besar sungai di Jakarta Barat kini tergolong kategori C
(perikanan) dan D (usaha perkotaan), meskipun ada juga sungai yang masih
tergolong
kategori B (layak digunakan sebagai bahan baku air minum) yaitu Kali Krukut.
Sungai
yang tergolong kategori C antara lain adalah sungai Moorkevart, Angke (hulu di
Jakarta - Cengkareng Drain), Grogol, Cengkareng Drain (hulu hingga Pintu Air
II).
Sementara sungai yang termasuk kategori D, antara lain adalah Kali Pesanggrahan,
Cengkareng Drain (Pintu Air II - muara), Kali Duri, dan Kali Mati.
Sedangkan, 13 dari sungai yang bermuara di Jakarta Utara, menurut data yang
diperoleh SH sebagian besar sangat kotor dan berbau. Sungai yang melintas di
depan
Ancol dan bersampingan dengan Jalan RE Martadinata dan bermuara di dekat
pelabuhan
Tanjung Priok berwarna sangat hitam pekat.
Jamal, warga Warakas Tanjung Priok yang kerap me-lintas di Jalan RE Martadinata
mengatakan, bila musin panas, bau sungai tersebut sangat menyengat.

Di atas Ambang Batas
Sementara itu, tingkat pen-cemaran sungai di Kabupaten dan Kota Bekasi, sudah
masuk
taraf mengkhawatirkan. Paling parah, di wilayah Kabupaten Bekasi. Dari delapan
sungai besar di wilayah ini, semuanya sudah tercemar limbah industri dan rumah
tangga. Tingkat pencemarannya sudah diatas nilai ambang batas (NAB).
Yang sangat berbahaya, limbah bau, beracun dan berbahaya (B-3) juga sudah
terdapat
di semua sungai. Padahal, limbah B-3 itu, tidak dapat dibuang disembarangan
tempat
dari harus diproses di Pengolahan Limbah Industri (PIL) Cibinong Kabupaten
Bogor.
Di antara sungai yang paling parah tingkat pencemarannya, sungai Cikarang Bekasi
Laut (CBL), sungai Cikedokan, Ciherang, Sadang, Serengseng, Sasak Jarang dan
Jambe.
Pejabat dari Subdin Pengawasan dan Pegendalian (Wasdal) Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Bekasi, Mastar Effendy yang ditemui SH, Selasa (30/3), membenarkan
bahwa
tingkat pencemaran sungai di atas NAB . Di antara limbah yang terdapat didalam
sungai, seperti tembaga, besi, seng, florid, suflad dan zat kimia lainnya.
Pencemaran itu, paling tampak saat musim kemarau. Sebab kalau musim hujan
seperti
saat ini, karena debit air meluap, maka limbah yang dibuang para pemilik pabrik,
tidak terlalu tampak.
Salah seorang staf Dinas Lingkungan Hidup juga mengakui, adanya Instalasi
Pengelolah Air Limbah (IPAL) di pabrik-pabrik, itu hanya tameng saja.
(rhu/jon/tom )



******************

60% Pencemaran Sungai Bukan Dari Industri
-----------------------------------------

Perhatian serius Pemda Jatim soal limbah kini berubah. Semula, sasaran
diarahkan pada industri tiba-tiba sekarang berubah. Kini yang dituding
sebagai penghasil limbah terbesar yang mencemari Kali Surabaya adalah
limbah domestik, semisal sampah rumah tangga. Perbandingannya, industri dan
rumah tangga, 40%:60%.

Pembantu Gubernur di Surabaya, Drs. Masduqi yang selama ini getol
`mengotak-atik' limbah, mengakui bahwa saat ini terjadi perubahan mendasar.
"Dulu perbandingannya 40% limbah domestik, 60% limbah industri. Sekarang
berbalik. Karena itu, kita akan mengadakan `Pekan Teladan Kali Bersih' di
Sungai Surabaya, Wonokromo, dan Kali Mas, "tandasnya kemarin (6/10) dalam
dengar pendapat dengan Komisi D-DPRD Jatim.

Pembantu Gubernur yang mengaku baru pertama kali melaporkan hasil
penyusurannya masalah limbah ke DPRD itu menambahkan bahwa acara Pekan Kali
Bersih tersebut akan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat serta
instansi terkait.

Masduqi juga membeberkan tentang kebandelan para pengusaha yang selama
ini telah berulangkali diperingatkan oleh Pemda. "Sekarang persoalaannya,
apakah yang `berwenang' itu berani enggak mempidanakan para pengusaha itu,
"tandasnya.

Selain itu, ada 41 perusahaan potensial menghasilkan limbah, seperti
Surya Agung Kertas dan PT Mekaboks Surabaya. "Pencemaran kedua perusahaan
itu mencapai 60% dan 40% limbah industri yang ada. "Masduqi juga
menyarankan agar perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pengurangan
kapasitas produksinya.

Pencemar utama Kali Porong, menurut Masduqi, limbah dari PT Pakerin.
"Kami sudah melaporkan masalah tersebut ke Polwil Taman. Tapi kenapa, ya
sampai sekarang belum ada kelanjutannya? Padahal, Pakerin itu juga tidak
memproses limbahnya sama sekali." Bahkan, dalam kunjungan beberapa waktu
lalu Masduqi juga sempat berdebat dengan Pakerin, tapi tidak ada
kelanjutannya.

Sementara itu, Ir Roejito, Dirut PT Jasa Tirta mengatakan, untuk
melakukan pemantauan terhadap pencemaran di Kali Das Brantas telah dipasang
tidak kurang dari 450 titik monitor setiap minggu. "Kemudian, juga
dilengkapi dengan dua titik lagi yang selalu dimonitor setiap hari yakni di
Ngagel dan Karang Pilang."

Menurut Roejito, tidak kurang dari 750 perusahaan baik kecil maupun
besar yang telah menyebabkan terjadinya pencemaran di Das Brantas. "Dari
jumlah tersebut yang berpotensi sekitar 40-an, sedangkan yang paling
potensial ada 41 industri. Dari 41 industri tersebut, hanya 26%-nya saja
yang telah mematuhi syarat pengolahan baku mutu limbah."

Menghadapi sikap pengusaha yang terkesan meremehkan tersebut, Ketua DPRD
Jatim Trimarjono S.H. mengusulkan agar kasus itu segera dituntaskan di
Pengadilan.

(Harian Umum Republika, 7 Oktober 1994)



*************

Senin, 2008 Februari 25

Pencemaran Sungai


Ini bukti masih kurangnya kepedulian kita terhadap lingkungan. Jika setiap orang melakukan hal ini mungkin tahun-tahun yang akan mendatang tidak ada lagi pasokan air bersih bagi kehidupan kita!! Padahal sampah-sampah ini akan menumpuk dan lama kelamaan akan membusuk! (Penting: "Sampah plastik butuh waktu lama untuk diuraikan oleh sampah!") Nah dari sampah-sampah yang membusuk tadi akan mengeluarkan gas metan, karbondioksida, dll. Nah gas-gas inilah "penjahat" yang udah ngerusak bumi kita ne...Gas metan (CH4) dan gas karbondioksida(CO2) adalah salah satu dari gas-gas yang menyusun efek rumah kaca. Jadi mulai sekarang kita harus mulai merubah kebiasaan kita yang kurang baik ini!! Sayangilah sungai kita! Terapkan Program Kali Bersih lagi yang pernah dicanangkan di zaman orde baru oleh mantan presiden Soeharto(.Alm) Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan....



************

Warga Bekasi Keluhkan Pencemaran Sungai Sadang

Selasa, 25 Mei 2004 | 10:07 WIB

TEMPO Interaktif, Bekasi:Warga Desa Telaga Asih dan Desa Wanajaya, Kecamatan Cibitung, tepatnya di sekitar Sungai Sadang mengeluhkan kondisi air telah berubah menjadi keruh, berbusa dan berbau busuk. Akibatnya, warga yang biasanya memanfaatkan air sungai itu untuk mandi dan memenuhi kebutuhan keluarga lainnya, kini, diliputi kekhawatiran adanya limbah beracun yang dapat membahayakan kesehatan dan jiwa.

Sungai Sadang yang membentang dari arah pusat pemerintahaan Kabupaten Bekasi itu mengalir melintasi Kawasan Industri elit MM2100. Sungai yang kondisi setahun lalu jernih, belakangan ini tak terlihat lagi kejernihan itu. Air sungai itu, kini, telah berubah warna menjadi kehitaman dan apabila di pegang, akan terasa lengket di tangan, mirip oli.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi beberapa waktu lalu, hulu sampai hilir Sungai Sadang, ini memang kualitas airnya telah mengalami penurunan drastis. Terbukti, air sungai mengandung BPD, COD (chemical oxigen demand) atau kebutuhan oksigen biologi, Zenol dan Zn (Seng) di atas ambang baku mutu.

Menurut warga sekitar, kualitas air sungai itu memang sudah menurun drastis. Sebab, sewaktu-waktu, air akan berubah warna menjadi kecoklatan, hijau keruh dan berubah amis darah. Di samping itu, mereka juga mengeluhkan bau busuk yang menyengat sampai radius satu kilometer dari dalam sungai yang lebarnya tidak kurang dari 15 meter itu.

Warga sekitar tidak bisa lagi mengkonsumsi air kebutuhan minum, mandi dan mencuci pakaian. “Air di sungai itu memang sudah berubah sejak banyak dibangun pabrik-pabrik di sini,” kata warga setempat bernama Iwan.

Selain berdampak pada warga, air sungai juga membikin para nelayan sangat sulit memperoleh hasil tangkapan. Sebab, semenjak air sungai berubah, ikan yang biasanya mudah didapat, belakangan ini jauh menurun. Dari sepuluh kilo perhari, kini nelayan tidak mencapai 5 kilo perhari.

P>F>S

Fungsi Ganda Sungai dan Selokan Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Friday, 25 July 2008
Kebersihan adalah sebagian daripada iman, kalimat ini sudah tidak asing lagi di telinga bahkan mungkin sudah menjadi slogan bagi kita di kehidupan sehari-hari. Tetapi kenyataannya kebersihan untuk Indonesia masih dalam taraf limit mendekati nol artinya kebersihan di Indonesia belum sepenuhnya tercapai atau terjamin.

Contoh kecilnya di sekitar kita adalah sampah. Sampah yang ada di Surabaya begitu banyak dan berserakan. Hal itu dapat terjadi karena tempat sampah yang kurang, tidak ada tempat sampah, atau mungkin kesadaran masyarakat yang kurang. Lihat saja, meski ada tempat sampah yang mudah dijangkau, di sekitarnya selalu ada sampah berhamburan.

Betapa sulit membiasakan diri melemparkan sampah ke dalam tong sampah yang terbuka lebar. Jika sampah itu ternyata meleset, tak ada upaya mengambil lagi dan memasukkan ke dalam tong.

Jika dari setiap rumah tangga dihasilkan sekantong sampah, seharusnya di beberapa titik jalan disediakan tempat sampah besar yang bisa menjadi penampungan sementara. Tetapi titik sampah ini seringkali tak tersedia di permukiman. Karena itu masyarakat memilih membuang sampah di “tempat sampah raksasa” yang disediakan alam. Apa lagi jika bukan sungai? Jika sungai jauh, masih ada “tempat sampah lain” bernama selokan.

Jika tempat sampah lebih dari cukup, sungai dan selokan tidak akan menjadi sasaran utama untuk menggantikan fungsi sebagai tempat sampah.

Kenyataan yang terjadi adalah hampir semua jenis sampah masuk ke sungai dan selokan. Sampah anorganik, organik, sampah rumah tangga, sampah orang jualan, bahkan parahnya sampah dari sisa-sisa metabolisme tubuh juga bersatu. Untuk jenis sampah yang terakhir ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang tidak mempunyai MCK sehingga merasa ada fasilitas yang tepat dan efisien yaitu sungai dan selokan sebagai tempat pembuangan.

Akibatnya sungai dan selokan yang sudah tercampur aduk mengeluarkan bau yang tidak sedap. Apalagi jika air sungai dan selokan mempunyai volume sedikit, yang terjadi adalah jenis-jenis sampah tersebut berkumpul menjadi satu.

Penyalahgunaan fungsi sungai dan selokan hanya salah satu masalah kebersihan. Harus ada yang memulai menghentikan kebiasaan ini. Sosialisasi pemanfaatan sampah yang dilakukan lewat PKK dan sekolah menjadi salah satu cara memutus kebiasaan ini. Yang paling penting, setiap orang harus menahan tangan jika ingin melempar sampah ke sungai atau selokan.


*******************


Sempadan Pantai-Sungai Sebagai Ruang Publik


Upaya penataan ruang di kawasan sempadan pantai sangat penting dalam memecahkan masalah pengelolaan lingkungan hidup agar keselarasan, keserasian dan lingkungan hidup dapat tercapai.
Upaya penataan ruang di sempadan pantai juga sangat penting mengingat bahwa kawasan pantai adalah kawa-san milik publik yang kepemi-likan dan pengelolaannya ti-dak dapat diklaim hanya untuk kepentingan kelompok tertentu atau bersifat pribadi.
Kota-kota di negara yang le-bih maju seperti Singapura dan San Antonio di Texas me-ngelola kawasaan tepi sungai-nya dengan konsep riverwalk.
Pengunjung Kota Singapura dapat berjalan-jalan di tepi kanan dan kiri Sungai Singa-pore sambil menikmati pe-mandangan dan makanan/minuman yang dijual café-café yang ada di sepanjang wilayah Boat Quay dan Clarke Quay. Wisatawan Kota San Antonio juga dapat menaiki perahu sambil menyusuri su-ngai yang membelah kota ini dan singgah di salah satu res-taurant, café, pertokoan, ataupun hotel yang terdapat berderet-deret di sepanjang kanan dan kiri sungainya.
Miami di Florida mengosong-kan 100 meter lahan di sepan-jang garis pantainya dari ber-bagai jenis bangunan. Para pengunjung pantai Miami ini dapat dengan santainya me-nikmati matahari terbit, du-duk-duduk sambil membaca, tidur-tiduran, ataupun ber-olahraga ringan. Sebagai ru-ang umum terbuka, tepian sungai dan pantai ini diba-ngun dan direncanakan agar masyarakat kotanya mempu-nyai akses untuk menikmati-nya secara cuma-cuma.
Persoalan reklamasi, tarik menarik pemanfaatan lahan, dan penggusuran masyarakat di wilayah pesisir yang saat ini sering terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: cepat-nya transformasi sosial eko-nomi, kebijaksanaan pemba-ngunan yang tidak didasar-kan pada pola tata ruang, dan akibat dari praktek pemba-ngunan kawasan yang berbau KKN. Hal-hal ini menjadikan keberpihakan arah pemba-ngunan kawasan tepi pantai suatu wilayah menjadi rancu. Untuk menghindari masalah tersebut di atas dan agar tu-juan pembangunan kawasan pantai kota yang indah namun tetap berwawasan lingkungan dapat tercapai, maka ada 4 (empat) hal dari beberapa per-soalan lagi yang harus kita pi-kirkan dan selesaikan :
Masalah Koordinasi Pena-taan Ruang dan Penatagu-naan Tanah
Selama ini kata koordinasi memang menjadi momok yang paling merisaukan da-lam pelaksanaan pembangu-nan di Indonesia. Koordinasi antar berbagai sektor/instan-si/ dinas, baik di tingkat Na-sional, Propinsi dan Kabupa-ten/Kota yang berkaitan de-ngan pemberian izin lokasi dan pembuatan kebijakan pe-ngembangan kawasan pariwi-sata/perdagangan/usaha perlu dibenahi agar memu-dahkan pengendalian konver-si di kawasan sempadan pan-tai dan sungai.
Perlunya Lembaga Penjamin Hak-hak Rakyat Atas Tanah
Salah satu upaya untuk menghindari pergeseran dan penyalahgunaan fungsi lahan di kawasan pesisir adalah dibentuknya suatu lembaga land banking yang bertugas untuk mendata dan mengin-ventarisasi semua kawasan di pesisir baik yang dimiliki pe-merintah, masyarakat dan swasta, termasuk kawasan yang akan dibelinya. Land banking ini perlu agar kebu-tuhan tanah, khususnya yang diperlukan bagi pengadaan kawasan pariwisata/perdaga-ngan/usaha jasa dapat dise-diakan tanpa harus merugi-kan rakyat dengan selalu me-lakukan penggusuran.
Pemberian Izin Lokasi
Banyak kali pemberian izin lo-kasi disalahgunakan oleh para pemegangnya. Dengan meme-gang izin lokasi, para pemilik tanah ini sering berspekulasi untuk menaikan harga tanah dan bukannya segera memba-ngun dan mengelola lahannya sesuai dengan izin yang dida-patkannya. Penyalahgunaan izin lokasi ini juga dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang katanya berniat untuk mendirikan hotel atau kawasan wisata di pesisir Su-lawesi Utara. Jika kita meme-takan izin lokasi yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah Kab Minahasa (sebelum peme-karan) untuk izin kegiatan pari-wisata, maka sepanjang Pantai Utara di sekitar Likupang su-dah dipenuhi oleh pemilik ta-nah swasta tersebut.
Permasalahan yang kita li-hat sekarang ini adalah bah-wa para pemegang izin ini tak segera mengusahakan lahan-nya sementara keberadaan masyarakat pesisir semakin tersisih. Agar keadaan ini tak makin parah, masalah pem-berian izin prinsip atau izin lokasi harus mengacu pada rencana tata ruangnya dan juga ketegasan pemerintah dalam menjalankan fungsi pe-ngawasan dan tindakan yang tegas terhadap penyimpangan yang terjadi.
Mekanisme Pengendalian Harga Tanah
Meningkatnya harga tanah di kawasan tertentu sebagian dipicu oleh ulah para peme-gang izin lokasi dan izin prinsip dan penguasaan lahan secara besar-besaran oleh segolongan orang tertentu. Dalam hal ini diharapkan bank tanah dapat berperan sebagai penjamin, pembeli, dan pendistribusi la-han yang diperuntukkan bagi pengembangan kawasan in-dustri di sekitar pesisir. Salah satu cara pengendalian harga tanah yang perlu segera dilak-sanakan adalah penertiban atas tanah-tanah terlantar.
Penertiban ini bisa dalam bentuk peringatan dan tegu-ran yang dilanjutkan dengan sangsi tegas seperti pencabu-tan izin prinsip dan izin lokasi yang telah diberikan. Khusus bagi pemegang hak dan izin lokasi yang tidak mampu un-tuk melanjutkan pembangu-nan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan maka perlu dibantu melalui program pengembangan.
Setelah 4 (empat) hal di atas, tentunya masih ada hal-hal lain yang harus kita upaya-kan, yaitu: Pemisahan fungsi, tugas, dan tanggung jawab dari pemerintah, masyarakat, dan pebisnis (swasta) yang jelas, melibatkan peran serta masyarakat secara sungguh-sungguh, menyusun sebuah sistem informasi tentang pe-nataan, pengelolaan, dan pe-manfaatan ruang yang bisa diakses masyarakat luas.
Dengan pendekatan pemeca-han masalah seperti di atas, kita berharap bahwa pembangunan kawasan sempadan pantai dan sungai di masa mendatang, khususnya di Kota Manado yang direncanakan untuk menjadi Kota Pariwisata ini da-pat lebih terarah dan terkonsep secara jangka panjang.(**)



************************

Pemkab Bandung Belum Siap Mengantisipasi Datangnya Banjir

Bandung, Kompas - Pemerintah Kabupaten Bandung dinilai belum siap mengantisipasi dampak banjir yang kemungkinan bakal sering terjadi pada bulan-bulan pertama awal tahun 2008. Sebab, belum ada pembagian tugas yang jelas siapa yang akan menangani tahap preventif, evakuasi, dan rehabilitasi.

Saat ini justru aparat di tingkat kecamatan hanya mengandalkan data kerusakan pada banjir tahun sebelumnya. Ini misalnya terjadi di Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang.

Hal itu disoroti anggota Komisi C DPRD Kabupaten Bandung Mokhamad Ikhsan, usai rapat koordinasi penanganan bencana di Kabupaten Bandung, Kamis (8/11). "Seharusnya lembaga teknis, seperti Dinas Pekerjaan Umum atau Dinas Lingkungan Hidup, bekerja sejak awal mengantisipasi dampak banjir di permukiman," ujarnya.

Menurut Ikhsan, Pemkab Bandung cenderung mengajukan pemecahan masalah tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan.

Dalam pertemuan tersebut, Asisten Ekonomi Pembangunan, yang juga Ketua Tim Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Bandung Rachmat Partasasmita merekomendasikan pembuatan sungai tambahan untuk mengurangi dampak banjir.

Dari pemaparan beberapa kecamatan, lanjut Ikhsan, diketahui karakteristik banjir di Kabupaten Bandung bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh limpasan Sungai Citarum, gorong-gorong yang meluap, serta banjir kiriman dari Kota Bandung atau wilayah pegunungan di selatan.

Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Bandung Agus Haryadi mengharapkan Pemkab Bandung segera mempunyai rencana penanggulangan dampak banjir yang yang sistematis.

Dengan demikian, upaya Pemkab Bandung menanggulangi banjir setiap tahun menunjukkan perkembangan yang terukur, seperti luas dan lama genangan, hingga jumlah korban.

Menurut Rachmat, salah satu penyebab banjir adalah penyalahgunaan fungsi wilayah. Oleh karena itu, peraturan tentang tata ruang di Kabupaten Bandung harus ditegakkan.

Dicontohkan, adanya rumah-rumah "liar" di sepanjang bantaran sungai. "Bongkar rumah liar. Kalau kabupaten lain sudah bergerak, seperti Bogor dan Bekasi, apakah Kabupaten Bandung masih tidur," ujar Rachmat.

Untuk itu, Rachmat mengharapkan, lembaga teknis yang terkait dengan pengawasan dan kontrol terhadap fungsi tata ruang segera bertindak.

Dinas Pekerjaan Umum diharapkan selalu memantau sistem irigasi persawahan karena banyak laporan mengenai terjadinya alih fungsi saluran irigasi.

Berdasarkan data Satuan Pelaksana Penanganan Bencana Kabupaten Bandung, selama tahun 2007 terjadi 36 kasus bencana, yaitu 3 kasus banjir, 3 kasus longsor, dan 30 kasus kebakaran.

Data itu belum mencatat kasus banjir yang terjadi pada akhir tahun 2007 atau saat ini. (eld)



******************