Cukup Sudah Cerita Pencemaran Sungai!
Siaran Pers Bersama: 10 Juni 2004
Pencemaran yang terjadi di Sungai Siak dan dibeberapa sungai lainnya di Riau sepertinya akan terus terjadi tanpa ada upaya kongkrit apapun ke arah perbaikan apalagi penegakan hukum bagi pelanggaran yang terjadi. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Riau dan Kementrian Lingkungan Hidup melalui SUPER pun dinilai belum mampu menjawab permasalahan yang terjadi, khususnya pada aspek penegakan hukum. Pemerintah Daerah melalui Bappedal Propinsi hanya menerbitkan surat peringatan bagi 7 perusahaan yang dinilai melanggar ambang batas pencemaran tanpa diikuti tindakan yang dapat membuat perusahaan jera melalui serangkaian tindakan hukum.
Pencemaran sungai di Riau, bila dirunut terjadi sejak bomming industri yang menempati sepanjang DAS seperti DAS Siak dan DAS Kampar. Sejak itulah, eskalasi pencemaran terus meningkat hingga puncaknya pada 8 Juni 2004 yang lalu dimana lebih dari 1,5 ton ikan mati mengapung. Inilah catatan pencemaran terburuk yang pernah terjadi di sungai di Riau dalam lima tahun terakhir.
Peningkatan skala pencemaran ini pada dasarnya tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum sebagai buah dari minusnya komitment aparatur negara dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan yang terkait dengan masalah. Minusnya perhatian masyarakat juga menjadi faktor yang merugikan. Walaupun pada dasarnya, semua ini terjadi akibat tidak transparannya proses penyusunan dan implementasi kebijakan yang berkaitan dengan pencemaran ini. Dengan kondisi sedemikian rupa, perusahaan tidak lagi takut dalam melakukan pencemaran. Tentunya yang akan menerima dampak dari semua itu adalah masyarakat dimana industri tersebut berada.
Merujuk pada MoU tanggal 11 April 2003 antara Pemerintah Daerah dengan 20 Perusahaan yang tertuang dalam SUPER 2003 (Surat Pernyataan Kinerja Lingkungan 2003) justru terlihat bahwa kasus pencemaran bukannya menurun bahkan cenderung meningkat. Malahan, walaupun 7 (tujuh) diantaranya secara sah dan meyakinkan telah mengangkangi kesepakatan dalam point-point SUPER 2003, sebagaimana rekomendasi Bappedal Propinsi, hingga hari ini belum satupun tindakan yang diambil Pemkot Pekanbaru, Pemkab Siak dan Pemkab Pelalawan menunjukkan kearah positif, dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Malah jusru Pemkot Pekanbaru terkesan menantang keputusan Bapedal Propinsi dengan melakukan penelitian tersendiri dengan hasil yang, tentunya, menguntungkan perusahaan-perusahaan tersebut. Bahkan ketika pencemaran sudah terjadi didepan mata.
Terkait dengan rencana SUPER 2004 terhadap 15 perusahaan, hal ini seharusnya menjadi tanda tanya besar bagi pecinta lingkungan. Sejauh mana urgensi SUPER 2004 bila SUPER 2003 tidak dapat memberikan sanksi/hukuman terhadap perusahaan yang gagal melaksanakan point-point dalam kesepakatan Super 2003. Justru kesannya perusahaan yang tidak lulus SUPER 2003 masih diberi kesempatan pada SUPER 2004.
Selain itu, terdapat kelemahan dari Super 2003 dimana proses penyusunannya yang tidak transparan dan tidak pernah kesepakatan-kesepakatan yang tertuang didalamnya dipublikasikan ke publik. Ini menjadi penting mengingat keterlibatan masyarakat justru bisa dimaksimalkan apabila kesepakatan tersebut mendapat masukan dan diketahui oleh publik sehingga urusan lingkungan tidak saja menjadi urusan pemerintah dan perusahaan tetapi juga menjadi urusan publik sebagai pihak yang banyak menggunakan jasa lingkungan.
Dengan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sejumlah Organisasi Lingkungan menilai bahwa masalah pencemaran ini tidak akan pernah menemui titik tuntas. Banyaknya perusahaan yang tidak konsisten dalam menjalankan UU 23 Thn 1997 dan berbagai kesepakatan yang tertuang dalam SUPER 2003 dituding menjadi penyebab kesemuanya. Ketidak tegasan dan ketakutan Pemerintah Daerah dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang telah terbukti melanggar juga merupakan masalah tersendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah organisasi akan meningkatkan konsentrasinya terhadap masalah-masalah pencemaran yang terjadi di Pekanbaru dan sekitarnya khusunya dan di Propinsi Riau umumnya. Sejumlah aktivitas telah disusun, dengan membuat posko pengaduan masyarakat korban pencemaran termasuk kemungkinan melakukan somasi hukum terhadap pihak-pihak terkait dengan masalah pencemaran ini.
Pekanbaru, 10 Juni 2004
****************
Perspektif Budaya Pencemaran Sungai
PENCEMARAN sungai akibat limbah tetes tebu yang pernah menggegerkan Surabaya dan sekitarnya ternyata “tidak terlalu dipermasalahkan” masyarakat. Buktinya, tidak ada gugatan class action atas inisiatif warga sendiri, bahkan surat-surat pembaca di media tak ditemukan protes keras untuk menuntut penyelesaiannya. Mengapa persoalan yang sedemikian serius itu justru dianggap sepi? Barangkali, inilah salah satu bentuk sikap budaya masyarakat yang sudah terbiasa dirugikan kepentingannya, sehingga ketika mereka tenggelam sebatas leher pun tetap tak protes karena air memang belum masuk ke lubang hidung.
Sikap budaya suatu masyarakat akan terbentuk manakala suatu hal terjadi secara terus-menerus, menjadi kebiasaan, dan tidak menimbulkan gejolak berarti untuk menjadi perubahan. Demikian pula soal pencemaran sungai, terjadi berulang-ulang, tak pernah ada penyelesaian, sehingga masyarakat menjadi abai untuk memikirkannya. Apalagi, kasus-kasus lingkungan pada umumnya memang baru terasa urgen justru ketika akibatnya sudah menjadi terlambat untuk mengatasinya. Sering kali orang tidak menganggap penting persoalan selama akibat yang dirasakannya bukan terjadi saat itu juga.
Lebih parah lagi, ketika sudah diketahui akibatnya pun, masih saja terus berlangsung perusakan lingkungan, karena pihak yang merusak bukan pihak yang merasakan akibatnya. Atau, perusakan tetap berlangsung, karena akibatnya ditanggung secara bersama-sama oleh semua orang, bukan hanya pihak yang merusak saja.
Secara langsung, yang dirugikan akibat pencemaran Sungai Brantas tersebut adalah para konsumen PDAM. Yang kurang diperhitungkan adalah, siapa saja yang mengonsumsi ikan-ikan yang diracuni akibat pencemaran tersebut? Bukan hanya ikan sungai yang mabuk itu, tetapi ikan-ikan (dan fauna lain) di tambak dan laut yang pasti juga teracuni. Itulah salah satu bentuk sikap budaya juga, bahwa selama ini orang cenderung mengatasi persoalan pencemaran dengan cara memindahkan masalah dan bukan menyelesaikannya.
***
SIKAP budaya yang berikutnya, masyarakat selama ini masih belum menghargai apa yang disebut sebagai milik umum. Logikanya, kalau sesuatu disebut “milik umum” berarti menjadi milik semua orang. Jadi, setiap orang wajib menjaganya, karena sesuatu itu adalah miliknya juga. Tetapi yang terjadi, karena dianggap milik umum lantas dipahami menjadi “bukan milik siapa-siapa”. Yang artinya, siapa saja boleh memperlakukan dengan seenaknya tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Contohnya sungai, jalan raya, air, udara, dan lain-lain.
Secara sempit, pencemaran sungai Brantas (hanya menyebut contoh) terjadi karena pembuangan limbah pabrik yang belum dinetralisasi. Namun kalau mau dihitung, berapakah andil masyarakat sendiri dalam hal pencemaran sungai tersebut? Pencemaran domestik seperti limbah rumah tangga, bukan berarti lebih kecil artinya dibanding pencemaran industri.
Pertanyaannya kemudian, apakah karena kita merasa semua orang ikut memiliki andil terhadap pencemaran sungai, maka kita menjadi apatis ketika kasus pencemaran yang dilakukan oleh Pabrik Gula Ngadirejo belum lama ini? Atau, sikap apatis tersebut menjadi lantaran selama ini kasus-kasus pencemaran lingkungan nyaris tidak pernah ada penyelesaian tuntas.
Bagaimanapun, persoalan lingkungan memang harus diteropong secara holistik, bukan secara sepotong-sepotong, hanya berorientasi sesaat atau jangka pendek. Karena budaya, pasti menyangkut manusia, yang menjadi aktor utama dalam semua persoalan di muka bumi ini. Apa boleh buat. (*)
******************
Pencemaran Air | Selasa, 24 Maret 2009 | |||||||||||
Sumber Pencemaran Air Banyak penyebab pencemaran air tetapi secara umum dapat dikategorikan sebagai sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA (tempat Pembuangan Akhir Sampah), dan sebagainya. Sumber tidak langsung yaitu kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah, atau atmosfer berupa hujan. Tanah dan air tanah mengandung mengandung sisa dari aktivitas pertanian seperti pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfer juga berasal dari aktivitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam. Pencemar �@ | ||||||||||||
Dampak Pencemaran Air Pencemaran air berdampak luas, misalnya dapat meracuni sumber air minum, meracuni makanan hewan, ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam, dan sebagainya. Di badan air, sungai dan danau, nitrogen dan fosfat (dari kegiatan pertanian) telah menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang di luar kendali (eutrofikasi berlebihan). Ledakan pertumbuhan ini menyebabkan oksigen, yang seharusnya digunakan bersama oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang. Ketika tanaman air tersebut mati, dekomposisi mereka menyedot lebih banyak oksigen. Sebagai akibatnya, ikan akan mati, dan aktivitas bakteri menurun. | ||||||||||||
Langkah Penyelesaian Dalam keseharian kita, kita dapat mengurangi pencemaran air, dengan cara mengurangi jumlah sampah yang kita produksi setiap hari (minimize), mendaur ulang (recycle), mendaur pakai (reuse). Kita pun perlu memperhatikan bahan kimia yang kita buang dari rumah kita. Karena saat ini kita telah menjadi "masyarakat kimia", yang menggunakan ratusan jenis zat kimia dalam keseharian kita, seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, memupuk tanaman, dan sebagainya. Menjadi konsumen yang bertanggung jawab merupakan tindakan yang bijaksana. Sebagai contoh, kritis terhadap barang yang dikonsumsi, apakah nantinya akan menjadi sumber pencemar yang persisten, eksplosif, korosif dan beracun, atau degradable (dapat didegradasi) alam ? Apakah barang yang kita konsumsi nantinya dapat meracuni manusia, hewan, dan tumbuhan, aman bagi mahluk hidup dan lingkungan ? Teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar. Walaupun demikian, langkah pencegahan tentunya lebih efektif dan bijaksana. *****************
************************* Pencemaran Sungai di DKI Sudah Membahayakan Jakarta, Sinar Harapan Kondisi sungai di Jakarta dan sekitarnya kini memprihatinkan. Tingkat pencemaran sungai akibat limbah industri dan rumah tangga sudah pada tahap membahayakan. Di Bekasi, kondisinya malah sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Demikian pantauan SH dan beberapa pendapat yang dihimpun mengenai kondisi sungai di Jakarta dan sekitarnya, Selasa (30/3) siang. Menurut Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Pemerintah Kota Jakarta Barat, Rafdjon Rax kepada SH, Selasa (30/3), selain limbah industri, polutan yang mencemari sungai di Jakarta Barat juga berasal dari rumah tangga. Polutan dari rumah tangga itu terutama berupa deterjen, yang sangat mengurangi kadar oksigen dalam air. Karena itu, sama seperti limbah industri, limbah dari rumah tangga seharusnya juga diolah terlebih dulu dalam instalansi pengolahan limbah sebelum dialirkan ke sungai. "Kita sejauh ini memang masih sering kecolongan dengan limbah industri. Tetapi, limbah rumah tangga juga sangat berperan dalam pencemaran sungai. Bayangkan, orang mencuci piring, mandi dan mencuci pakaian, semuanya menghasilkan limbah yang mengandung deterjen. Sebagian besar dari limbah rumah tangga itu langsung dialirkan ke sungai, tanpa melalui instalasi pengolahan terlebih dahulu. Deterjen mengurangi kemampuan air untuk mengikat oksigen, sehingga air tidak bisa digunakan untuk perikanan," ujarnya. Dengan alasan yang sama pula, BPLH Kotamadya Jakarta Barat sebenarnya sudah berulangkali melarang pemanfaatan air sungai untuk perikanan seperti yang banyak ditemui di Kamal, tak jauh dari jalan tol Sedyatmo. Kendala yang dihadapi untuk membangun fasilitas pengolahan limbah rumah tangga tersebut, menurutnya adalah masalah dana. Hingga kini di Jakarta baru ada satu fasilitas se-macam itu yaitu Waduk Setiabudi, Jakarta Pusat. Waduk itu diperkirakan hanya mampu menampung dan mengolah lima sampai tujuh persen dari total limbah rumah tangga warga Jakarta. Dia mengatakan, sebagian besar sungai di Jakarta Barat kini tergolong kategori C (perikanan) dan D (usaha perkotaan), meskipun ada juga sungai yang masih tergolong kategori B (layak digunakan sebagai bahan baku air minum) yaitu Kali Krukut. Sungai yang tergolong kategori C antara lain adalah sungai Moorkevart, Angke (hulu di Jakarta - Cengkareng Drain), Grogol, Cengkareng Drain (hulu hingga Pintu Air II). Sementara sungai yang termasuk kategori D, antara lain adalah Kali Pesanggrahan, Cengkareng Drain (Pintu Air II - muara), Kali Duri, dan Kali Mati. Sedangkan, 13 dari sungai yang bermuara di Jakarta Utara, menurut data yang diperoleh SH sebagian besar sangat kotor dan berbau. Sungai yang melintas di depan Ancol dan bersampingan dengan Jalan RE Martadinata dan bermuara di dekat pelabuhan Tanjung Priok berwarna sangat hitam pekat. Jamal, warga Warakas Tanjung Priok yang kerap me-lintas di Jalan RE Martadinata mengatakan, bila musin panas, bau sungai tersebut sangat menyengat. Di atas Ambang Batas Sementara itu, tingkat pen-cemaran sungai di Kabupaten dan Kota Bekasi, sudah masuk taraf mengkhawatirkan. Paling parah, di wilayah Kabupaten Bekasi. Dari delapan sungai besar di wilayah ini, semuanya sudah tercemar limbah industri dan rumah tangga. Tingkat pencemarannya sudah diatas nilai ambang batas (NAB). Yang sangat berbahaya, limbah bau, beracun dan berbahaya (B-3) juga sudah terdapat di semua sungai. Padahal, limbah B-3 itu, tidak dapat dibuang disembarangan tempat dari harus diproses di Pengolahan Limbah Industri (PIL) Cibinong Kabupaten Bogor. Di antara sungai yang paling parah tingkat pencemarannya, sungai Cikarang Bekasi Laut (CBL), sungai Cikedokan, Ciherang, Sadang, Serengseng, Sasak Jarang dan Jambe. Pejabat dari Subdin Pengawasan dan Pegendalian (Wasdal) Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Mastar Effendy yang ditemui SH, Selasa (30/3), membenarkan bahwa tingkat pencemaran sungai di atas NAB . Di antara limbah yang terdapat didalam sungai, seperti tembaga, besi, seng, florid, suflad dan zat kimia lainnya. Pencemaran itu, paling tampak saat musim kemarau. Sebab kalau musim hujan seperti saat ini, karena debit air meluap, maka limbah yang dibuang para pemilik pabrik, tidak terlalu tampak. Salah seorang staf Dinas Lingkungan Hidup juga mengakui, adanya Instalasi Pengelolah Air Limbah (IPAL) di pabrik-pabrik, itu hanya tameng saja. (rhu/jon/tom ) ****************** 60% Pencemaran Sungai Bukan Dari Industri Perhatian serius Pemda Jatim soal limbah kini berubah. Semula, sasaran Pembantu Gubernur di Surabaya, Drs. Masduqi yang selama ini getol Pembantu Gubernur yang mengaku baru pertama kali melaporkan hasil Masduqi juga membeberkan tentang kebandelan para pengusaha yang selama Selain itu, ada 41 perusahaan potensial menghasilkan limbah, seperti Pencemar utama Kali Porong, menurut Masduqi, limbah dari PT Pakerin. Sementara itu, Ir Roejito, Dirut PT Jasa Tirta mengatakan, untuk Menurut Roejito, tidak kurang dari 750 perusahaan baik kecil maupun Menghadapi sikap pengusaha yang terkesan meremehkan tersebut, Ketua DPRD (Harian Umum Republika, 7 Oktober 1994) ************* Senin, 2008 Februari 25Pencemaran Sungai
************ Warga Bekasi Keluhkan Pencemaran Sungai SadangSelasa, 25 Mei 2004 | 10:07 WIB TEMPO Interaktif, Bekasi:Warga Desa Telaga Asih dan Desa Wanajaya, Kecamatan Cibitung, tepatnya di sekitar Sungai Sadang mengeluhkan kondisi air telah berubah menjadi keruh, berbusa dan berbau busuk. Akibatnya, warga yang biasanya memanfaatkan air sungai itu untuk mandi dan memenuhi kebutuhan keluarga lainnya, kini, diliputi kekhawatiran adanya limbah beracun yang dapat membahayakan kesehatan dan jiwa.Sungai Sadang yang membentang dari arah pusat pemerintahaan Kabupaten Bekasi itu mengalir melintasi Kawasan Industri elit MM2100. Sungai yang kondisi setahun lalu jernih, belakangan ini tak terlihat lagi kejernihan itu. Air sungai itu, kini, telah berubah warna menjadi kehitaman dan apabila di pegang, akan terasa lengket di tangan, mirip oli. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi beberapa waktu lalu, hulu sampai hilir Sungai Sadang, ini memang kualitas airnya telah mengalami penurunan drastis. Terbukti, air sungai mengandung BPD, COD (chemical oxigen demand) atau kebutuhan oksigen biologi, Zenol dan Zn (Seng) di atas ambang baku mutu. Menurut warga sekitar, kualitas air sungai itu memang sudah menurun drastis. Sebab, sewaktu-waktu, air akan berubah warna menjadi kecoklatan, hijau keruh dan berubah amis darah. Di samping itu, mereka juga mengeluhkan bau busuk yang menyengat sampai radius satu kilometer dari dalam sungai yang lebarnya tidak kurang dari 15 meter itu. Warga sekitar tidak bisa lagi mengkonsumsi air kebutuhan minum, mandi dan mencuci pakaian. “Air di sungai itu memang sudah berubah sejak banyak dibangun pabrik-pabrik di sini,” kata warga setempat bernama Iwan. Selain berdampak pada warga, air sungai juga membikin para nelayan sangat sulit memperoleh hasil tangkapan. Sebab, semenjak air sungai berubah, ikan yang biasanya mudah didapat, belakangan ini jauh menurun. Dari sepuluh kilo perhari, kini nelayan tidak mencapai 5 kilo perhari. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar