Selasa, 24 Maret 2009

P>S


Cukup Sudah Cerita Pencemaran Sungai!

Siaran Pers Bersama: 10 Juni 2004

Pencemaran yang terjadi di Sungai Siak dan dibeberapa sungai lainnya di Riau sepertinya akan terus terjadi tanpa ada upaya kongkrit apapun ke arah perbaikan apalagi penegakan hukum bagi pelanggaran yang terjadi. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Riau dan Kementrian Lingkungan Hidup melalui SUPER pun dinilai belum mampu menjawab permasalahan yang terjadi, khususnya pada aspek penegakan hukum. Pemerintah Daerah melalui Bappedal Propinsi hanya menerbitkan surat peringatan bagi 7 perusahaan yang dinilai melanggar ambang batas pencemaran tanpa diikuti tindakan yang dapat membuat perusahaan jera melalui serangkaian tindakan hukum.

Pencemaran sungai di Riau, bila dirunut terjadi sejak bomming industri yang menempati sepanjang DAS seperti DAS Siak dan DAS Kampar. Sejak itulah, eskalasi pencemaran terus meningkat hingga puncaknya pada 8 Juni 2004 yang lalu dimana lebih dari 1,5 ton ikan mati mengapung. Inilah catatan pencemaran terburuk yang pernah terjadi di sungai di Riau dalam lima tahun terakhir.

Peningkatan skala pencemaran ini pada dasarnya tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum sebagai buah dari minusnya komitment aparatur negara dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan yang terkait dengan masalah. Minusnya perhatian masyarakat juga menjadi faktor yang merugikan. Walaupun pada dasarnya, semua ini terjadi akibat tidak transparannya proses penyusunan dan implementasi kebijakan yang berkaitan dengan pencemaran ini. Dengan kondisi sedemikian rupa, perusahaan tidak lagi takut dalam melakukan pencemaran. Tentunya yang akan menerima dampak dari semua itu adalah masyarakat dimana industri tersebut berada.

Merujuk pada MoU tanggal 11 April 2003 antara Pemerintah Daerah dengan 20 Perusahaan yang tertuang dalam SUPER 2003 (Surat Pernyataan Kinerja Lingkungan 2003) justru terlihat bahwa kasus pencemaran bukannya menurun bahkan cenderung meningkat. Malahan, walaupun 7 (tujuh) diantaranya secara sah dan meyakinkan telah mengangkangi kesepakatan dalam point-point SUPER 2003, sebagaimana rekomendasi Bappedal Propinsi, hingga hari ini belum satupun tindakan yang diambil Pemkot Pekanbaru, Pemkab Siak dan Pemkab Pelalawan menunjukkan kearah positif, dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Malah jusru Pemkot Pekanbaru terkesan menantang keputusan Bapedal Propinsi dengan melakukan penelitian tersendiri dengan hasil yang, tentunya, menguntungkan perusahaan-perusahaan tersebut. Bahkan ketika pencemaran sudah terjadi didepan mata.

Terkait dengan rencana SUPER 2004 terhadap 15 perusahaan, hal ini seharusnya menjadi tanda tanya besar bagi pecinta lingkungan. Sejauh mana urgensi SUPER 2004 bila SUPER 2003 tidak dapat memberikan sanksi/hukuman terhadap perusahaan yang gagal melaksanakan point-point dalam kesepakatan Super 2003. Justru kesannya perusahaan yang tidak lulus SUPER 2003 masih diberi kesempatan pada SUPER 2004.

Selain itu, terdapat kelemahan dari Super 2003 dimana proses penyusunannya yang tidak transparan dan tidak pernah kesepakatan-kesepakatan yang tertuang didalamnya dipublikasikan ke publik. Ini menjadi penting mengingat keterlibatan masyarakat justru bisa dimaksimalkan apabila kesepakatan tersebut mendapat masukan dan diketahui oleh publik sehingga urusan lingkungan tidak saja menjadi urusan pemerintah dan perusahaan tetapi juga menjadi urusan publik sebagai pihak yang banyak menggunakan jasa lingkungan.

Dengan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sejumlah Organisasi Lingkungan menilai bahwa masalah pencemaran ini tidak akan pernah menemui titik tuntas. Banyaknya perusahaan yang tidak konsisten dalam menjalankan UU 23 Thn 1997 dan berbagai kesepakatan yang tertuang dalam SUPER 2003 dituding menjadi penyebab kesemuanya. Ketidak tegasan dan ketakutan Pemerintah Daerah dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang telah terbukti melanggar juga merupakan masalah tersendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah organisasi akan meningkatkan konsentrasinya terhadap masalah-masalah pencemaran yang terjadi di Pekanbaru dan sekitarnya khusunya dan di Propinsi Riau umumnya. Sejumlah aktivitas telah disusun, dengan membuat posko pengaduan masyarakat korban pencemaran termasuk kemungkinan melakukan somasi hukum terhadap pihak-pihak terkait dengan masalah pencemaran ini.

Pekanbaru, 10 Juni 2004


****************


Perspektif Budaya Pencemaran Sungai

PENCEMARAN sungai akibat limbah tetes tebu yang pernah menggegerkan Surabaya dan sekitarnya ternyata “tidak terlalu dipermasalahkan” masyarakat. Buktinya, tidak ada gugatan class action atas inisiatif warga sendiri, bahkan surat-surat pembaca di media tak ditemukan protes keras untuk menuntut penyelesaiannya. Mengapa persoalan yang sedemikian serius itu justru dianggap sepi? Barangkali, inilah salah satu bentuk sikap budaya masyarakat yang sudah terbiasa dirugikan kepentingannya, sehingga ketika mereka tenggelam sebatas leher pun tetap tak protes karena air memang belum masuk ke lubang hidung.

Sikap budaya suatu masyarakat akan terbentuk manakala suatu hal terjadi secara terus-menerus, menjadi kebiasaan, dan tidak menimbulkan gejolak berarti untuk menjadi perubahan. Demikian pula soal pencemaran sungai, terjadi berulang-ulang, tak pernah ada penyelesaian, sehingga masyarakat menjadi abai untuk memikirkannya. Apalagi, kasus-kasus lingkungan pada umumnya memang baru terasa urgen justru ketika akibatnya sudah menjadi terlambat untuk mengatasinya. Sering kali orang tidak menganggap penting persoalan selama akibat yang dirasakannya bukan terjadi saat itu juga.

Lebih parah lagi, ketika sudah diketahui akibatnya pun, masih saja terus berlangsung perusakan lingkungan, karena pihak yang merusak bukan pihak yang merasakan akibatnya. Atau, perusakan tetap berlangsung, karena akibatnya ditanggung secara bersama-sama oleh semua orang, bukan hanya pihak yang merusak saja.

Secara langsung, yang dirugikan akibat pencemaran Sungai Brantas tersebut adalah para konsumen PDAM. Yang kurang diperhitungkan adalah, siapa saja yang mengonsumsi ikan-ikan yang diracuni akibat pencemaran tersebut? Bukan hanya ikan sungai yang mabuk itu, tetapi ikan-ikan (dan fauna lain) di tambak dan laut yang pasti juga teracuni. Itulah salah satu bentuk sikap budaya juga, bahwa selama ini orang cenderung mengatasi persoalan pencemaran dengan cara memindahkan masalah dan bukan menyelesaikannya.

***

SIKAP budaya yang berikutnya, masyarakat selama ini masih belum menghargai apa yang disebut sebagai milik umum. Logikanya, kalau sesuatu disebut “milik umum” berarti menjadi milik semua orang. Jadi, setiap orang wajib menjaganya, karena sesuatu itu adalah miliknya juga. Tetapi yang terjadi, karena dianggap milik umum lantas dipahami menjadi “bukan milik siapa-siapa”. Yang artinya, siapa saja boleh memperlakukan dengan seenaknya tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Contohnya sungai, jalan raya, air, udara, dan lain-lain.

Secara sempit, pencemaran sungai Brantas (hanya menyebut contoh) terjadi karena pembuangan limbah pabrik yang belum dinetralisasi. Namun kalau mau dihitung, berapakah andil masyarakat sendiri dalam hal pencemaran sungai tersebut? Pencemaran domestik seperti limbah rumah tangga, bukan berarti lebih kecil artinya dibanding pencemaran industri.

Pertanyaannya kemudian, apakah karena kita merasa semua orang ikut memiliki andil terhadap pencemaran sungai, maka kita menjadi apatis ketika kasus pencemaran yang dilakukan oleh Pabrik Gula Ngadirejo belum lama ini? Atau, sikap apatis tersebut menjadi lantaran selama ini kasus-kasus pencemaran lingkungan nyaris tidak pernah ada penyelesaian tuntas.

Bagaimanapun, persoalan lingkungan memang harus diteropong secara holistik, bukan secara sepotong-sepotong, hanya berorientasi sesaat atau jangka pendek. Karena budaya, pasti menyangkut manusia, yang menjadi aktor utama dalam semua persoalan di muka bumi ini. Apa boleh buat. (*)


******************


Pencemaran Air Selasa, 24 Maret 2009

Sumber Pencemaran Air

Banyak penyebab pencemaran air tetapi secara umum dapat dikategorikan sebagai sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA (tempat Pembuangan Akhir Sampah), dan sebagainya. Sumber tidak langsung yaitu kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah, atau atmosfer berupa hujan. Tanah dan air tanah mengandung mengandung sisa dari aktivitas pertanian seperti pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfer juga berasal dari aktivitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam.

Pencemar

Pencemar air dapat diklasifikasikan sebagai organik, anorganik, radioaktif, dan asam/basa. Saat ini hampir 10 juta zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000 zat kimia telah digunakan secara komersial. Kebanyakan sisa zat kimia tersebut dibuang ke badan air atau air tanah. Pestisida, deterjen, PCBs, dan PCPs (polychlorinated phenols), adalah salah satu contohnya. Pestisida dgunakan di pertanian, kehutanan dan rumah tangga. PCB, walaupun telah jarang digunakan di alat-alat baru, masih terdapat di alat-alat elektronik lama sebagai insulator, PCP dapat ditemukan sebagai pengawet kayu, dan deterjen digunakan secara luas sebagai zat pembersih di rumah tangga.

�@



Dampak Pencemaran Air

Pencemaran air berdampak luas, misalnya dapat meracuni sumber air minum, meracuni makanan hewan, ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam, dan sebagainya.

Di badan air, sungai dan danau, nitrogen dan fosfat (dari kegiatan pertanian) telah menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang di luar kendali (eutrofikasi berlebihan). Ledakan pertumbuhan ini menyebabkan oksigen, yang seharusnya digunakan bersama oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang. Ketika tanaman air tersebut mati, dekomposisi mereka menyedot lebih banyak oksigen. Sebagai akibatnya, ikan akan mati, dan aktivitas bakteri menurun.















Langkah Penyelesaian

Dalam keseharian kita, kita dapat mengurangi pencemaran air, dengan cara mengurangi jumlah sampah yang kita produksi setiap hari (minimize), mendaur ulang (recycle), mendaur pakai (reuse).

Kita pun perlu memperhatikan bahan kimia yang kita buang dari rumah kita. Karena saat ini kita telah menjadi "masyarakat kimia", yang menggunakan ratusan jenis zat kimia dalam keseharian kita, seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, memupuk tanaman, dan sebagainya.

Menjadi konsumen yang bertanggung jawab merupakan tindakan yang bijaksana. Sebagai contoh, kritis terhadap barang yang dikonsumsi, apakah nantinya akan menjadi sumber pencemar yang persisten, eksplosif, korosif dan beracun, atau degradable (dapat didegradasi) alam ? Apakah barang yang kita konsumsi nantinya dapat meracuni manusia, hewan, dan tumbuhan, aman bagi mahluk hidup dan lingkungan ?

Teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar. Walaupun demikian, langkah pencegahan tentunya lebih efektif dan bijaksana.


*****************


LAPORAN AKHIR TAHUN

Kasus Pencemaran Sungai Citarum Butuh Perhatian



Oleh
Widjil Purnomo

Karawang - Sungai Citarum yang mengalir melintas Kabupaten Karawang, Jawa Barat kini mengalami beban berat akibat pencemaran limbah. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah setempat tampaknya tak membuahkan hasil yang memadai. Bahkan, kini limbah menjadi ancaman baru bagi kehidupan warga yang berdiam diri di sepanjang daerah alirannya.
Secara kasatmata saja warga bisa melihat bahwa air Sungai Citarum tidak sejernih dulu. Selama beberapa bulan terakhir ini, air sungai yang semula jernih menjadi berwarna hitam dengan mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Pada musim kemarau lalu dengan air yang tidak mengalir deras, Sungai Citarum mirip sebuah danau raksasa yang menampung air comberan. Di bibir sungai menempel sisa-sisa limbah yang menimbulkan pemandangan yang tidak sedap.
Masyarakat yang berdiam di daerah aliran sungai (DAS) Citarum kini tidak bisa lagi memanfaatkan air sungai itu untuk keperluan mandi, mencuci termasuk mencari ikan dan binatang air lainnya. Mereka menjadi gelisah karena secara tiba-tiba kondisi itu mengubah pola kehidupan sosial maupun ekonominya. Bagi warga yang mampu, mereka bisa menggali sumur, membangun kamar mandi atau WC, tapi yang kehidupannya pas-pasan akan mengalami kesulitan luar biasa.
Belum lagi para petani yang mengandalkan air Sungai Citarum untuk pengairan kebun atau sawah mereka. Di beberapa tempat, para petani enggan menggunakan air sungai itu untuk pengairan kebunnya karena bisa merusak tanaman mereka. Namun, beberapa petani kangkung mengaku masih menggunakan air sungai itu karena tanaman kangkung dianggap tahan terhadap segala jenis limbah.
Sungai Citarum memiliki sejarah panjang terkait dengan peradaban manusia sepanjang tepian daerah alirannya. Banyaknya peninggalan budaya pada situs-situs prasejarah, situs-situs masa Klasik dan situs-situs masa Islam yang terdapat pada tepian daerah alirannya merupakan bukti bahwa Citarum merupakan sungai penting bagi kehidupan manusia.
Hingga tahun 2000 lalu, Sungai Citarum masih bermanfaat bagi warga yang tinggal di tepian daerah alirannya. Airnya jernih dengan kehidupan dalam airnya yang beraneka ragam sehingga warga bisa mencari ikan dan belut untuk menambah penghasilannya. Di sisi lain, warga juga bisa menikmati suasana yang sejuk dan damai di pinggiran Sungai Citarum.

Limbah Pabrik
Pencemaran yang terjadi di Sungai Citarum hingga kini tidak diketahui asal-usulnya karena pihak yang berwenang belum pernah menyeret oknum-oknum tertentu yang diduga membuang limbahnya di sungai itu. Namun, masyarakat yang gelisah langsung menuding pencemaran itu akibat pembuangan limbah pabrik-pabrik yang berdiri di sepanjang DAS Citarum.
Dalam suatu kesempatan Bupati Karawang Dadang S Muchtar mengakui adanya beberapa perusahaan yang tidak mengolah limbahnya sebelum dibuang ke Sungai Citarum. Ia tidak menyebut nama perusahaan itu, namun ia seolah-olah memakluminya karena biaya pengolahan limbah yang sangat mahal. Ia mencontohkan perusahaan Pindo Delli Pulp and Paper Mild I dan II yang setiap bulan harus mengalokasikan anggaran sedikitnya Rp 25 miliar hanya untuk pengolahan limbah.
Enday Damanhuri, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Energi dan Mineral Kabupaten Karawang beberapa waktu lalu mengaku telah diperintahkan Bupati Dadang S Muchtar agar melaporkan kasus pencemaran itu ke polisi. Namun, niat itu hingga menjelang akhir tahun 2006 ini tak kunjung terbukti karena tak satu pun dari pihak perusahaan yang dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. Jika demikian halnya, masyarakat lantas bertanya, kenapa?
Rumor adanya main mata antara pejabat terkait dengan para pengusaha langsung merebak, apalagi jika dikaitkan dengan dana operasional pengolahan limbah yang begitu fantastis. Ada anggapan perusahaan memberikan sebagian dana operasional pengolahan limbah itu kepada pejabat agar dimaklumkan membuang limbah ke Sungai Citarum tanpa diolah terlebih dulu. Dengan upeti ke pejabat itu perusahaan yang bersangkutan bisa menghemat biaya.
Namun, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Energi dan Mineral Kabupaten Karawang Enday Damanhuri menanggapi rumor itu sebagai buah pikiran yang kotor. “Ya buktikan saja kalau saya bermain dengan perusahaan yang seperti itu. Begitupun kalau ada anak buah saya yang bermain seperti itu, tunjukkan kepada saya. Nanti kalau memang terbukti, mereka pasti akan saya beri sanksi berat,” tandasnya.

Pemda Tidak Tegas
Kasus pencemaran Sungai Citarum di Karawang menjadi perhatian besar karena sungai ini merupakan yang terbesar dan memiliki romantika tersendiri bagi masyarakat setempat. Seorang anggota Komisi A DPRD Karawang Budiwanto menganggap kerusakan Sungai Citarum di wilayah Karawang ini terjadi karena tidak tegasnya pemerintah daerah dalam menangani setiap kasus pencemaran. Ketidaktegasan ini dianggap pengusaha nakal sebagai permakluman sehingga mengundang perusahaan lain untuk berbuat serupa.
“Saya menganggap pencemaran yang berulang-ulang ini akibat ketidaktegasan eksekutif dalam menangani setiap kasus pencemaran yang terjadi. Kalau eksekutif bertindak tegas, saya kira kejadiannya tidak seperti ini,”ujarnya kepada SH.
Fenomena yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini menurut Budiwanto harus disikapi DPRD Kabupaten Karawang dengan upaya pembuatan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang lingkungan hidup. Hal ini, katanya, agar kasus pencemaran tidak hanya ditangani oleh eksekutif saja, tapi juga bersama dengan legislatif. “Insya Allah, dalam waktu dekat kami akan mengumpulkan teman-teman di legislatif untuk membicarakan pembentukan raperda lingkungan hidup,” tambahnya.
Budiwanto mungkin bermaksud baik. Tapi sebaik apa pun maksud itu kalau tidak dibarengi dengan kejujuran dan tindakan nyata, Perda Lingkungan Hidup yang akan dibuatnya itu hanya akan sia-sia. Toh, saat ini sudah ada Undang-undang Lingkungan Hidup yang ternyata juga dilanggar.n






Copyright © Sinar Harapan 2003


*************************


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0403/31/jab02.html

Pencemaran Sungai di DKI Sudah Membahayakan

Jakarta, Sinar Harapan
Kondisi sungai di Jakarta dan sekitarnya kini memprihatinkan. Tingkat pencemaran
sungai akibat limbah industri dan rumah tangga sudah pada tahap membahayakan. Di
Bekasi, kondisinya malah sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Demikian pantauan SH dan beberapa pendapat yang dihimpun mengenai kondisi sungai
di
Jakarta dan sekitarnya, Selasa (30/3) siang.
Menurut Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Pemerintah Kota Jakarta
Barat, Rafdjon Rax kepada SH, Selasa (30/3), selain limbah industri, polutan
yang
mencemari sungai di Jakarta Barat juga berasal dari rumah tangga. Polutan dari
rumah tangga itu terutama berupa deterjen, yang sangat mengurangi kadar oksigen
dalam air. Karena itu, sama seperti limbah industri, limbah dari rumah tangga
seharusnya juga diolah terlebih dulu dalam instalansi pengolahan limbah sebelum
dialirkan ke sungai.
"Kita sejauh ini memang masih sering kecolongan dengan limbah industri. Tetapi,
limbah rumah tangga juga sangat berperan dalam pencemaran sungai. Bayangkan,
orang
mencuci piring, mandi dan mencuci pakaian, semuanya menghasilkan limbah yang
mengandung deterjen. Sebagian besar dari limbah rumah tangga itu langsung
dialirkan
ke sungai, tanpa melalui instalasi pengolahan terlebih dahulu. Deterjen
mengurangi
kemampuan air untuk mengikat oksigen, sehingga air tidak bisa digunakan untuk
perikanan," ujarnya.
Dengan alasan yang sama pula, BPLH Kotamadya Jakarta Barat sebenarnya sudah
berulangkali melarang pemanfaatan air sungai untuk perikanan seperti yang banyak
ditemui di Kamal, tak jauh dari jalan tol Sedyatmo.
Kendala yang dihadapi untuk membangun fasilitas pengolahan limbah rumah tangga
tersebut, menurutnya adalah masalah dana. Hingga kini di Jakarta baru ada satu
fasilitas se-macam itu yaitu Waduk Setiabudi, Jakarta Pusat. Waduk itu
diperkirakan
hanya mampu menampung dan mengolah lima sampai tujuh persen dari total limbah
rumah
tangga warga Jakarta.
Dia mengatakan, sebagian besar sungai di Jakarta Barat kini tergolong kategori C
(perikanan) dan D (usaha perkotaan), meskipun ada juga sungai yang masih
tergolong
kategori B (layak digunakan sebagai bahan baku air minum) yaitu Kali Krukut.
Sungai
yang tergolong kategori C antara lain adalah sungai Moorkevart, Angke (hulu di
Jakarta - Cengkareng Drain), Grogol, Cengkareng Drain (hulu hingga Pintu Air
II).
Sementara sungai yang termasuk kategori D, antara lain adalah Kali Pesanggrahan,
Cengkareng Drain (Pintu Air II - muara), Kali Duri, dan Kali Mati.
Sedangkan, 13 dari sungai yang bermuara di Jakarta Utara, menurut data yang
diperoleh SH sebagian besar sangat kotor dan berbau. Sungai yang melintas di
depan
Ancol dan bersampingan dengan Jalan RE Martadinata dan bermuara di dekat
pelabuhan
Tanjung Priok berwarna sangat hitam pekat.
Jamal, warga Warakas Tanjung Priok yang kerap me-lintas di Jalan RE Martadinata
mengatakan, bila musin panas, bau sungai tersebut sangat menyengat.

Di atas Ambang Batas
Sementara itu, tingkat pen-cemaran sungai di Kabupaten dan Kota Bekasi, sudah
masuk
taraf mengkhawatirkan. Paling parah, di wilayah Kabupaten Bekasi. Dari delapan
sungai besar di wilayah ini, semuanya sudah tercemar limbah industri dan rumah
tangga. Tingkat pencemarannya sudah diatas nilai ambang batas (NAB).
Yang sangat berbahaya, limbah bau, beracun dan berbahaya (B-3) juga sudah
terdapat
di semua sungai. Padahal, limbah B-3 itu, tidak dapat dibuang disembarangan
tempat
dari harus diproses di Pengolahan Limbah Industri (PIL) Cibinong Kabupaten
Bogor.
Di antara sungai yang paling parah tingkat pencemarannya, sungai Cikarang Bekasi
Laut (CBL), sungai Cikedokan, Ciherang, Sadang, Serengseng, Sasak Jarang dan
Jambe.
Pejabat dari Subdin Pengawasan dan Pegendalian (Wasdal) Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Bekasi, Mastar Effendy yang ditemui SH, Selasa (30/3), membenarkan
bahwa
tingkat pencemaran sungai di atas NAB . Di antara limbah yang terdapat didalam
sungai, seperti tembaga, besi, seng, florid, suflad dan zat kimia lainnya.
Pencemaran itu, paling tampak saat musim kemarau. Sebab kalau musim hujan
seperti
saat ini, karena debit air meluap, maka limbah yang dibuang para pemilik pabrik,
tidak terlalu tampak.
Salah seorang staf Dinas Lingkungan Hidup juga mengakui, adanya Instalasi
Pengelolah Air Limbah (IPAL) di pabrik-pabrik, itu hanya tameng saja.
(rhu/jon/tom )



******************

60% Pencemaran Sungai Bukan Dari Industri
-----------------------------------------

Perhatian serius Pemda Jatim soal limbah kini berubah. Semula, sasaran
diarahkan pada industri tiba-tiba sekarang berubah. Kini yang dituding
sebagai penghasil limbah terbesar yang mencemari Kali Surabaya adalah
limbah domestik, semisal sampah rumah tangga. Perbandingannya, industri dan
rumah tangga, 40%:60%.

Pembantu Gubernur di Surabaya, Drs. Masduqi yang selama ini getol
`mengotak-atik' limbah, mengakui bahwa saat ini terjadi perubahan mendasar.
"Dulu perbandingannya 40% limbah domestik, 60% limbah industri. Sekarang
berbalik. Karena itu, kita akan mengadakan `Pekan Teladan Kali Bersih' di
Sungai Surabaya, Wonokromo, dan Kali Mas, "tandasnya kemarin (6/10) dalam
dengar pendapat dengan Komisi D-DPRD Jatim.

Pembantu Gubernur yang mengaku baru pertama kali melaporkan hasil
penyusurannya masalah limbah ke DPRD itu menambahkan bahwa acara Pekan Kali
Bersih tersebut akan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat serta
instansi terkait.

Masduqi juga membeberkan tentang kebandelan para pengusaha yang selama
ini telah berulangkali diperingatkan oleh Pemda. "Sekarang persoalaannya,
apakah yang `berwenang' itu berani enggak mempidanakan para pengusaha itu,
"tandasnya.

Selain itu, ada 41 perusahaan potensial menghasilkan limbah, seperti
Surya Agung Kertas dan PT Mekaboks Surabaya. "Pencemaran kedua perusahaan
itu mencapai 60% dan 40% limbah industri yang ada. "Masduqi juga
menyarankan agar perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pengurangan
kapasitas produksinya.

Pencemar utama Kali Porong, menurut Masduqi, limbah dari PT Pakerin.
"Kami sudah melaporkan masalah tersebut ke Polwil Taman. Tapi kenapa, ya
sampai sekarang belum ada kelanjutannya? Padahal, Pakerin itu juga tidak
memproses limbahnya sama sekali." Bahkan, dalam kunjungan beberapa waktu
lalu Masduqi juga sempat berdebat dengan Pakerin, tapi tidak ada
kelanjutannya.

Sementara itu, Ir Roejito, Dirut PT Jasa Tirta mengatakan, untuk
melakukan pemantauan terhadap pencemaran di Kali Das Brantas telah dipasang
tidak kurang dari 450 titik monitor setiap minggu. "Kemudian, juga
dilengkapi dengan dua titik lagi yang selalu dimonitor setiap hari yakni di
Ngagel dan Karang Pilang."

Menurut Roejito, tidak kurang dari 750 perusahaan baik kecil maupun
besar yang telah menyebabkan terjadinya pencemaran di Das Brantas. "Dari
jumlah tersebut yang berpotensi sekitar 40-an, sedangkan yang paling
potensial ada 41 industri. Dari 41 industri tersebut, hanya 26%-nya saja
yang telah mematuhi syarat pengolahan baku mutu limbah."

Menghadapi sikap pengusaha yang terkesan meremehkan tersebut, Ketua DPRD
Jatim Trimarjono S.H. mengusulkan agar kasus itu segera dituntaskan di
Pengadilan.

(Harian Umum Republika, 7 Oktober 1994)



*************

Senin, 2008 Februari 25

Pencemaran Sungai


Ini bukti masih kurangnya kepedulian kita terhadap lingkungan. Jika setiap orang melakukan hal ini mungkin tahun-tahun yang akan mendatang tidak ada lagi pasokan air bersih bagi kehidupan kita!! Padahal sampah-sampah ini akan menumpuk dan lama kelamaan akan membusuk! (Penting: "Sampah plastik butuh waktu lama untuk diuraikan oleh sampah!") Nah dari sampah-sampah yang membusuk tadi akan mengeluarkan gas metan, karbondioksida, dll. Nah gas-gas inilah "penjahat" yang udah ngerusak bumi kita ne...Gas metan (CH4) dan gas karbondioksida(CO2) adalah salah satu dari gas-gas yang menyusun efek rumah kaca. Jadi mulai sekarang kita harus mulai merubah kebiasaan kita yang kurang baik ini!! Sayangilah sungai kita! Terapkan Program Kali Bersih lagi yang pernah dicanangkan di zaman orde baru oleh mantan presiden Soeharto(.Alm) Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan....



************

Warga Bekasi Keluhkan Pencemaran Sungai Sadang

Selasa, 25 Mei 2004 | 10:07 WIB

TEMPO Interaktif, Bekasi:Warga Desa Telaga Asih dan Desa Wanajaya, Kecamatan Cibitung, tepatnya di sekitar Sungai Sadang mengeluhkan kondisi air telah berubah menjadi keruh, berbusa dan berbau busuk. Akibatnya, warga yang biasanya memanfaatkan air sungai itu untuk mandi dan memenuhi kebutuhan keluarga lainnya, kini, diliputi kekhawatiran adanya limbah beracun yang dapat membahayakan kesehatan dan jiwa.

Sungai Sadang yang membentang dari arah pusat pemerintahaan Kabupaten Bekasi itu mengalir melintasi Kawasan Industri elit MM2100. Sungai yang kondisi setahun lalu jernih, belakangan ini tak terlihat lagi kejernihan itu. Air sungai itu, kini, telah berubah warna menjadi kehitaman dan apabila di pegang, akan terasa lengket di tangan, mirip oli.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi beberapa waktu lalu, hulu sampai hilir Sungai Sadang, ini memang kualitas airnya telah mengalami penurunan drastis. Terbukti, air sungai mengandung BPD, COD (chemical oxigen demand) atau kebutuhan oksigen biologi, Zenol dan Zn (Seng) di atas ambang baku mutu.

Menurut warga sekitar, kualitas air sungai itu memang sudah menurun drastis. Sebab, sewaktu-waktu, air akan berubah warna menjadi kecoklatan, hijau keruh dan berubah amis darah. Di samping itu, mereka juga mengeluhkan bau busuk yang menyengat sampai radius satu kilometer dari dalam sungai yang lebarnya tidak kurang dari 15 meter itu.

Warga sekitar tidak bisa lagi mengkonsumsi air kebutuhan minum, mandi dan mencuci pakaian. “Air di sungai itu memang sudah berubah sejak banyak dibangun pabrik-pabrik di sini,” kata warga setempat bernama Iwan.

Selain berdampak pada warga, air sungai juga membikin para nelayan sangat sulit memperoleh hasil tangkapan. Sebab, semenjak air sungai berubah, ikan yang biasanya mudah didapat, belakangan ini jauh menurun. Dari sepuluh kilo perhari, kini nelayan tidak mencapai 5 kilo perhari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar